Selasa, 17 Desember 2024

HEAL MY WOUNDS

Bagian 1...

 

LUANN JORA

 

Hidup seolah mengajarkan alur pola pikirku tentang rasa ketidak-adilan. Cabikan demi cabikan selalu saja tersenyum bahkan tertawa lebar ke arahku. Lautan rumput duri tidak pernah pernah bosan menusuk hingga menciptakan aliran darah begitu hebat tanpa henti. Bagaimanapun jeritan teriakanku berkumandang, akan tetapi gelombang pecahan beling terus saja menari-nari sambil tersenyum tanpa henti.

Adakah seorang saja yang dapat mengerti bagaimana lukaku bermuara begitu dalam? Sekali saja, mereka tidak menciptakan sesuatu objek hingga menciptakan luka lebih dalam. Alunan ceritaku tidak pernah memberiku nada musik terbaik. Saya tertawa keras di tengah alunan tadi.

“Luann, apa kau tidak pulang?” tegur Vana.

“Memang kenapa?” tanyaku balik.

“Kakek dan nenekmu sedang menunggumu” senyum Vana.

“Besok pesawat berangkat lebih subuh” ujarku.

“Jangan menghindari sesuatu hal? Atau kau sendiri akan menyesal dikemudian hari” Vana.

“Menyesal? Tentang?”

“Entahlah, tanyakan pada dirimu sendiri” Vana pergi begitu saja bersama perasaan kesalnya.

“Jangan menjadi hakim buat hidupku!” berteriak ke arahnya.

“Tuhan, jujur saya juga butuh dekapan” batinku bermain dengan sendirinya.

Apa yang salah denganku? Luann Jora hanya ingin merasakan kebahagiaan sama seperti yang lainnya. Tidak perduli apa kata mereka, namun ini jalan hidupku. Semut memiliki sarang untuk berteduh, tetapi manusia sepertiku tidak pernah mempunyai rumah untuk tertawa.

“Ternyata kau masih ingat rumah?” kakek bertolak pinggang pada pintu kamarku setelah kembali ke rumah. Entah setan apa yang sedang merasuki hingga membuatku berjalan kembali ke neraka.

“Kakek sendiri ngapain masuk ke kamar tanpa izin?” ucapan ketus buat pria tua di depanku.

“Dasar anak durhaka” teriak kakek ingin menampar wajahku.

“Hentikan!” nenek berusaha melindungi hingga segera memeluk erat tubuhku.

Kenapa saya tinggal bersama kakek dan nenek? Dimana kedua orang tuaku? Apa saya anak tunggal? Apa saya anak buangan? Apa yang sedang terjadi?

 

FLASHBACK

 

“Wanita kurang ajar” teriak papa sambil menampar wajah mama.

“Sakit” mama berusaha menahan rasa sakit setelah mendapat perlakuan kasar dari papa. Di depan mataku, banyak hal mengerikan selalu saja terjadi. Saya hanya diam membisu melihat mama diperlakukan buruk oleh papa. Pukulan demi pukulan seperti biasanya akan bermuara tanpa ampun. Menendang memakai kaki sejenis pemain bola sudah bukan pertama kalinya terjadi. Apa mama sekuat itu bertahan? Anak kecil sepertiku yang baru berusia 7 tahun sedang menghadapi permainan hidup.

“Kakak, apa papa tidak sayang mama?” Hoshi adikku terlihat ketakutan.

Saya dan Hoshi memiliki jarak usia 2 tahun. Hoshi saat ini berusia 5 tahun. Apa hanya dia satu-satunya adikku? Jawabannya adalah saya masih mempunyai 2 adik lagi. Adikku yang kedua bernama Hiasber, sedang adik bungsuku masih dalam kandungan. Papa membawa seorang wanita ke rumah dalam keadaan mama hamil besar.

Rumahku tidak akan pernah bercerita tentang kehangatan keluarga. Neraka paling mematikan merupakan gambaran rumahku saat ini. Papa tidak pernah perduli kehidupan anak-anaknya. Kenapa Tuhan membuat saya harus terlahir dari keluarga berantakan?

“Mama, apa Hia akan menjadi seperti papa?” tangisan Hia terlihat ketakutan.

“Kenapa anak mama berkata seperti itu?” mama mencoba membawanya dalam dekapan.

“Hia kan laki-laki, apa Hia akan menjadi manusia kejam setelah besar nanti?” Hia.

“Mama tidak mungkin salah memberi nama” mama masih bisa tersenyum di tengah rasa sakitnya.

“Hidupmu akan selalu berharga, arti sekaligus singkatan dari nama anak mama paling ganteng sedunia” senyum mama.

“Mama” Hia.

“Anak mama tidak mungkin menjadi manusia kejam karena hidupnya terlalu berharga di hadapan Sang Pencipta” mama.

“Kami semua sayang mama” batinku berteriak hebat di dalam.

Hal terkeji yang sedang terjadi adalah papa menuduh mama berselingkuh setelah melahirkan adik bungsuku. Kenapa hanya pria saja yang bisa berselingkuh, sedang wanita tidak bisa? Hidup ini tidak pernah adil.

“Mama” teriak Hoshi.

Papa membunuh mama tanpa rasa bersalah di depan mata kami bertiga. Kenapa dia harus berperan sebagai ayahku? Untuk kesekian kalinya, saya hanya diam membisu melihat darah berserakan di lantai.

Lantas, bagaimana kisah kelanjutan keluargaku? Papa divonis penjara seumur hidup atas kasus pembunuhan terhadap istrinya sendiri. Kami berempat tinggal bersama kakek dan nenek dari mama. Adik bungsuku terus saja menangis seolah menyadari sesuatu telah terjadi.

Bisakah Tuhan mengembalikan mama? Tuhan ada dimana waktu mama dipukuli papa? Apa Tuhan memang tidak pernah ingin tahu atau peduli tentang luka hati seorang anak? Sedikit saja, Tuhan...

 

FLASHBACK

 

“Semua hanya masa lalu” tertawa sinis dalam kamarku seorang diri.

Tombak itu terlalu tajam hingga luka yang diciptakan juga begitu dalam. Alunan musik di jalan setapak hanya bercerita tentang rasa sakit. “Ka’Luann” Hozhi berjalan masuk ke kamarku.

“Sejak kapan menyadari keberadaanku?”

“Saya hanya mau memberitahu agar berhati-hati” bisik Hozhi.

“Maksud ucapanmu?”

“Memangnya Hozhi tidak tahu kalau kakak menjadi simpanan orang” Hozhi.

“Menurutmu?”

“Menjadi pelakor itu kehidupan biasalah dan tidak mungkin juga Hozhi besar-besarkan, hanya saja jangan sampai kakek tahu” Hozhi.

“Apa kau ingin menghakimi hidupku?”

“Hozhi ga akan menjadi hakim” Hozhi.

“Kenapa?”

“Karena kakak dan Hozhi sama-sama berada di sebuah jurang, hanya saja memiliki versi berbeda” Hozhi.

Kisah hidup kakak adik terdengar menakutkan. Tidak ada satupun dari kami mencoba berjalan di tempat yang terang. Apa didikan kakek nenek kami melakukan penyimpangan? Tidak sama sekali.

Hozhi dengan jalan hidupnya sebagai model dan artis sedang menghalalkan segala cara agar karirnya terus berkembang. Hia hampir-hampir menjadi anak paling manis bahkan merupakan kebanggaan kakek, tetapi sesuatu berkata lain ketika menginjak bangku kuliah. Adikku paling bungsu bernama Kaska selalu saja menjadi kawanan narapidana tanpa jedah iklan.

Saya sendiri bergelut di dunia pramugari dan menjalani hubungan gelap bersama seorang kapten pilot terbaik. Dia bisa mengisi kekosongan dalam hidupku. Memberi apa yang kuinginkan. Selalu bersikap lembut sekalipun ucapan-ucapan kasar terlontar dari bibir mulutku.

Dia tahu cara menyembuhkan luka hati yang selama ini mencabik-cabik ruang hidupku di dalam sana. Kehidupan kami berempat hanya bercerita tentang sayatan demi sayatan tanpa pemulihan sama sekali. Tarian luka itu sepertinya jauh lebih hebat bermuara dibanding apa pun juga.

Jalan setapak seolah memberiku rasa sesak di dalam sana. Puing-puing kertas sedang beterbangan  di sekitar jalan hidupku. Tidak ada yang salah atas kisah dari alunan musik di jalan setapak tadi. Kenapa Tuhan menancapkan luka paling hebat di sekitar ruang hidupku paling dalam?

“Hozhi tidak mungkin membeberkan rahasia percintaan kakak” Hozhi.

“Gadis iblis” merutuki dirinya.

“Kakak dan Hozhi sama-sama iblis” Hozhi.

Semua yang terjadi menjadikan kami berempat hilang arah. Hingga detik, saya tidak ingin mengakui kehadiran Tuhan. Rumahku menyatakan ribuan luka hingga tidak akan mungkin untuk mengalami pemulihan.

Burung di udara memiliki sangkar untuk hidup dan mendapat kehangatan rumah, sedang manusia sepertiku kehilangan rumah bertahun-tahun lamanya. Bisakah kicauan burung bernyanyi di udara menghibur ruang hambar di dalam sana? Sampah sepertiku juga ingin mencari rumah terbaik.

“Kau bisa bercerita apa pun masalahmu” Nadav memeluk kuat tubuhku.

Dia selalu menjadi sahabat buatku. Apa yang salah dengan hubungan kami? Saya tahu dirinya memiliki keluarga di rumahnya  tetapi hidupku juga berhak bahagia. Memiliki istri cantik bersama 2 anaknya terlihat begitu sempurna di mata orang banyak. Hingga suatu ketika, saya menjadi satu-satunya di tengah cerita rumah kecilnya.

“Kapten pilot kesayanganku” senyumku melebar.

Dia tidak pernah menganggap diriku sebagai perempuan jalang. Seolah hidupnya memiliki figur ayah yang tidak pernah kumiliki. Apa dia pria tua? Umur kami hanya berjarak beberapa tahun saja.

“Apa saya terlihat minjijikkan?” pertanyaan tiap bertemu dengannya.

“Kau bukan perempuan seperti pemikiranmu” jawaban darinya.

“Saya menghancurkan rumahmu” balasan buatnya.

“Luann tidak pernah menghancurkan rumahku, saya yang menjebakmu” dia merangkul kuat tubuhku.

“Bagaimana dengan cerita pangeran dan putri kecilmu?”

“Mereka selalu menjadi alasan saya ingin bertahan di rumahku” kalimatnya.

“Apa mereka berdua sangat berarti?”

“Seorang ayah sepertiku ingin tetap mendekap kurcaci kecilnya, sekalipun kehidupanku sendiri tidak mungkin melepaskan objek di depanku” jawaban dari pertanyaan ini cukup jelas.

Kenapa saya bertahan? Seolah saya yang tersakiti, pada hal kenyataannya adalah istri dan malaikat kecilnya jauh lebih menderita. Saya berada dalam satu rantai belenggu. Kenapa kehidupanku sendiri merelakan apa pun buatnya? Kehormatanku hilang lenyap di tangan pria beristri.

Apa ini yang dikatakan kehidupan? Dia selalu berkata bukan saya yang menjebaknya, melainkan dirinyalah dengan peran sebagai pemain. “Luann, selamanya nenek ingin menjadi pengganti ibumu” ucapan nenek melalui telepon.

“Maaf, kakek dan nenek tidak bisa menjadi orang tua yang sempurna hingga membuatmu tertekan” entah kenapa nenek mengucapkan kata-kata seperti ini.

Apa saya egois menginginkan sesuatu yang memang bukan milik saya? Salahkah saya menjadi manusia paling egois? Sekali saja, biarkan hidupku berjalan dalam keegoisan.

Saya ingin menjadi wanita bahagia sama seperti kebanyakan wanita di luar sana. Rumah itu terlihat bersinar, hingga dua tangan ingin terus berjalan ke arahnya. Ruang di dalam sana tercabik-cabik karena tidak pernah memiliki rumah untuk berteduh.

“Mau merokok?” entah dari mana Hozhi hingga kami bertemu di sebuah negara.

“Hozhi ada kerja disini, jadi, jangan khawatir” Hozhi.

Adikku yang dulu tidak lagi menjadi sosok gadis kecil dengan wajah polosnya. Dia jauh berbeda dengan kisahnya yang sekarang. Hozhi sepertinya jauh lebih menakutkan dibanding kehidupanku sendiri.

Apa saya peduli akan cerita hidup adikku? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Seolah keegoisan merupakan satu-satunya benteng hidup untukku sekarang ini bahkan sampai kapanpun. Telingaku tertutup rapat-rapat untuk mencari kabar Kaska bersama status narapidananya. Berpikir masa bodoh tentang Hia bersama perjalanan gelapnya, tetapi selalu lepas tanpa pernah dipenjara. Menganggap cerita Hozhi sebagai sesuatu hal yang biasa di dunia hiburan.

Saya tidak ingin menjadi kakak sekaligus anak yang baik. Tidak lagi memperdulikan tangisan pengganti kedua orang tuaku. Kakek dan nenek selalu menyimpan easa sakitnya seirang diri.

“Bagaimana pekerjaanmu?” Hozhi melempar pertanyaan sambil menghembuslan asap rokoknya ke arahku.

“Bukan urusanmu”...

“Kakak dan Hozhi memang cocok dijadikan sebagai saudara kandung” tawa Hozhi meledak.

“Kita berdua memang iblis dari segala iblis, sekaligus racun dari segala racun” Hozhi.

“Pergi!” berusaha mengusir dirinya.

“Adikmu Hia sepertinya sudah menjadi ketua mafia paling ditakuti” Hozhi.

“Saya tidak perduli dengan kisah hidupnya” kalimatku seketika.

“Baguslah kalau seperti itu ceritanya” Hozhi.

“Bagaimana denganmu? Apa kau peduli tenrang hidupnya, si’bungsu, atau pengganti kedua orang tuamu?”

“Menjadi ketua mafia itu biasa, sama sepertimu sosok pelakor dan tidak ada yang salah” Hozhi.

“Pertanyaanku, apa kau pernah peduli kisah mereka?”

“Sama sepertimu, tidak sama sekali” Hozhi.

“Kenapa?”

“Karena kita berempat memang ditakdirkan untuk menjadi manusia iblis dari segala iblis” Hozhi.

Antara satu sama lain tidak saling memperdulikan. Saya ingin tertawa sekeras-kerasnya. Kami berempat Bersama-sama memasuki sebuah lautan yamg dikatakan paling menakutkan. Hai jiwaku, apakah kau akan tetap terbelenggu?

“Apa kau tidak pernah memikirkan dirimu?”

“Kakak tidak sedang sakitkan?” Hozhi.

“Kenapa?”

“Berpura-pura peduli? Atau sepertinya kakak mengalami gangguan kejiwaan berat” Hozhi.

Adikku jauh lebih menakutkan. Ucapannya terdengar mengkhawatirkan. Apa rasa sakit itu membuatnya mati rasa? Memangnya apa peduliku terhadap keadaannya? Mari kita jalani hidup masing-masing tanpa harus saling memperdulikan.

“Mau merokok? Silahkan! Saya membelinya dengan harga cukup fantastis” Hozhi.

“Kau mau kemana?”

“Melayani pria hidung belang demi kelanjutan karirku” Hozhi.

“Kenapa kau melakukan hal segila itu?”

“Jangan sok suci, kehidupan kita berdua sama-sama jalang, hanya saja dengan versi sedikit berbeda” Hozhi.

Dia bukan lagi gadis kecil polos yang sedang tersungkur menangis di samping lemari. Kesalahan terbesarku sebagai kakak adalah tidak pernah ingin tahu lukanya seberapa besar mengalir dalam tubuhnya. Seolah bersikap cuek ketika dia menangis tersedu-sedu saat rumahnya  hancur menjadi puing reruntuhan.

Saya memang tidak pernah ada saat dirinya membutuhkan dekapan hangat. Sibuk dengan diriku sendiri sehingga melupakan banyak hal.

 

Bagian 2...

 

HOZHI

 

“Mari kita bersama-sama terjun dan tidak mungkin berpikir untuk kembali!” ucapan buat kakakku sambil menghembuskan asap rokok milikku ke arahnya.

Seperti inilah hidup 4 anak tanpa kasih sayang sempurna. Siapa pernah menduga tentang alur cerita menyedihkan? Papa menjadi sosok pembunuh paling kejam terhadap mama. “Daun kering itu bernilai” membaca sebuah pernyataan.

Masa iya sih? Apa saya mempunyai nilai? Sejak kecil, nilai hidup di sekitar jalanku sepertinya mati total. Saya tidak pernah mengerti arti bercerita dengan memakai satu kata yaitu nilai. Hidupku hancur berkeping-keping tanpa nilai di dalamnya.

Jalanan di depan, selalu saja menceritakan kisah tanpa nilai. Sampah rongsokan masih jauh lebih berharga dibanding alur ceritaku. Saya seperti monster paling mematikan siap memangsa segala jenis objek menakutkan di sekitarku.

“Bagaimana bisa kau rela tidur bersama tua bangka itu?” Nevy melempar satu pertanyaan sekembalinya saya dari LN.

“Demi karir” menjawab tegas dirinya.

Siapa Nevy? Dia adalah sahabat sejak usia kami masih terbilang kecil. Pria dan wanita berteman merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi. Kami berdua sama-sama gila dalam segala hal. Apa Nevy memiliki pasangan? Tentu saja ada bahkan selalu gonta ganti dan saya sendiri tidak pernah mengingat nama mereka.

Salah satu persyaratan yang harus kami penuhi adalah tidak saling jatuh cinta antara satu sama lainnya. Kenapa? Karena kami bagaikan saudara kandung.

“Apa kau yakin karirmu bisa naik?” Nevy.

“Kenapa kau jadi seperti apa yah?”

“Lupakan! Lakukan apa yang menurutmu baik!” Nevy.

“Tentu saja” ujarku.

“Zhi, sepertinya hidupmu terlalu jauh berjalan ke tengah jurang” Nevy.

“Memang kenapa? Hidupku terdengar jauh lebih berkesan ketika lagi berenang-renang di tengah jurang terdalam”...

“Memang di jurang ada air?” Nevy.

“Entahlah” jawabku.

“Apa kau tidak ingin kembali menjadi Hozhi bersama senyum polosnya?” Nevy.

“Lupakan! Senyum polos Hozhi seperti hilang ditelan bumi” membalas ucapannya.

“Saya ingin kembali” Nevy.

“Kau dan saya ditakdirkan untuk selamanya tinggal di jurang, ngerti?” kalimat buatnya.

“Sepertinya, saya ingin belajar berjalan bahkan berlari keluar dari tengah jurang” Nevy.

“Apa kau gila? Perasaanku berkata kalau sosok dirimulah hingga saya berada di sini bahkan terbelenggu” menatap ke arahnya.

“Tapi, saya ingin kembali” Nevy semakin mempertegas ucapannya. Dia mengambil ransel miliknya, kemudian berjalan pergi. Apa saya akan menikmati kesendirian? Apa pun akan kulakukan hanya demi sebuah popularitas tinggi.

“Persahabatan kita berdua putus kalau kau berusaha keluar” berteriak sekeras mungkin ke arahnya. Dia tidak perduli apa pun ucapanku.

Sejak kecil, seorang Hozhi memang ditakdirkan untuk tidak pernah memiliki nilai. Jadi, untuk apa berpikir tentang satu kualitas hidup? Nilai itu dihancurkan oleh keluargaku sendiri.

Saya bukan satu-satunya model dan artis dengan pamor jelek. Ada begitu banyak artis di luar sana memiliki sisi gelap, baik dari segi keluarga ataukah hal lainnya. Kebanyakan artis berasal dari keluarga berantakan. Mencari sanjungan, pengakuan, popularitas, dan lain sebagainya melalui dunia keartisan. Kalau beruntung, namamu akan dipuji kesana-kemari. Justru sebaliknya, andaikan sial ataukah memiliki kontroversial artinya nama akan dihujat, tetapi tetap terkenal.

Kenapa kebanyakan artis tetap terjun bebas masuk ke dalam jurang? Entah karena terjebak sendiri, dijebak, kaget, rasa penasaran, atau sekedar ingin mencoba-coba hingga berakhir fatal. Hidupku sendiri memang sejak kecil tidak pernah mengerti tentang arti dari kata nilai.

Industri musik hollywood sedang memanas akibat skandal salah tokoh penyanyi terkenal. Pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan, obat-obat terlarang, dan lain sebagainya menjadi dasar hidupnya berakhir seketika. Skandal penjebakan terhadap artis yang baru akan memulai debut ataukah sedang menjalani keartisan memang sering terjadi. Tidak hanya dari industri musik, melainkan juga perfilman bersama ekor-ekornya di belakang.

Kasus semacam ini tidak hanya terjadi di bagian hollywood semata, tetapi juga terjadi di tiap negara. Industri hiburan memiliki sisi gelap dengan versi berbeda-beda. Menaikkan popularitas melalui proses panjang memang terdengar membosankan. Para artis pada akhirnya memilih untuk memasuki dunia jebakan demi jebakan oleh segelintir tokoh pemain pemegang kekuasaan.

Seperti diketahui bersama industri hiburan memang banyak memancing sekaligus menjebak generasi muda. Organisasi satanisme menyadari secara signifikan bahkan sedetail-detailnya kondisi generasi muda terlebih di dunia hollywood. Organisasi satanisme memang sengaja menjaring banyak artis agar bisa lebih leluasa mempermainkan mereka semua.

Beberapa tokoh penting industri hiburan khususnya hollywood memiliki jabatan tinggi dalam organisasi satanisme. Tokoh-tokoh tersebut diberi tugas untuk menjaring banyak artis, entah bersifat pendatang baru, sudah lama, ataukah baru akan memasuki dunia hiburan. Ada banyak kegiatan-kegiatan di luar nalar dituntut untuk dilakukan oleh mereka atas perintah organisasi satanisme tadi.

Jangan mencoba-coba bermain dengan sang pemimpin satanisme! Kenapa? Karena kau tidak akan pernah bisa berlari keluar setelahnya. Memang betul, popularitas dan uang berada di depan mata, akan tetapi sang pemimpin tidak akan pernah membiarkan hidupmu tenang seperti bayangan orang banyak. Karakter kejam sang pemimpin jauh lebih menakutkan dibanding apa pun yang ada di dunia ini. Dia bengis, kejam, mengerikan, menakutkan, membinasakan, dan lain sebagainya.

Kenapa saya bisa tahu? Jawabannya, cari sendiri? Menjelaskan hal-hal sejenis ini disadari penuh oleh sang pemimpin dan bisa jadi penyerangan bertubi-tubi juga bisa terjadi di alam lain. Saya memang terjebak di dunia keartisan, akan tetapi untuk menjadi pengikutnya, amit-amit jabang bayi.

Satu lagi yang perlu kalian ketahui kalau malaikat yang jatuh dan dibuang sama sekali tidak memiliki jenis kelamin. Para malaikat inilah yang disebut sebagai penguasa kegelapan, penguasa setempat, penguasa di udara, iblis, setan, dan lain sebagainya. Bebas menentukan jenis kelamin manapun ketika sedang berhubungan seks dengan manusia.

Kenapa kisah LGBTQ bisa terbentuk? Jawabannya berasal dari malaikat-malaikat itu, dimana menciptakan sesuatu objek yang melanggar hukum Tuhan. Salah satu artis terkenal dinyatakan sebagai putri Lucifer. Sebenarnya, iblis tidak pernah dizinkan oleh Tuhan untuk menghasilkan keturunan dari manusia. Kenapa bisa? Karena Roh Tuhan masih berkuasa di bumi dan pada dasarnya malaikat tersebut tidak pernah diciptakan untuk memiliki keturunan atau sistem reproduksi dalam bentuk apa pun.

Di tiap negara permaisuri Lucifer memang jelas banyak bahkan membludak, akan tetapi tidak satupun dari mereka diizinkan oleh Tuhan untuk mengandung benih iblis. Kemungkinan besar dari kisah artis tersebut adalah kedua orang tuanya mengikat perjanjian dengan iblis sehingga sang anak dinyatakan sebagai milik satan satu-satunya. Sang anak tidak akan bisa lepas dari cengkaraman organisasi satanisme karena perjanjian kuat antara orang tuanya dan si’iblis.

“Kenapa saya jadi menjelaskan hal menakutkan seperti ini?” bertanya pada diri sendiri.

Perasaanku berkata, kalau saya masih dalam posisi belum bertobat, lantas kenapa mengerti hal semacam ini? Bulu kudukku merinding. Lupakan!

“Apa kau benar-benar ingin meninggalkan sahabatmu sendiri di tengah keterpurukan?” tanpa sengaja sosok Nevy sedang berdiri di tengah kerumunan orang banyak.

Saya tidak lagi perduli kisah hidupku sebagai artis. Bukankah seorang Hozhi memang sejak dulu sudah menjadi artis kontroversial sekaligus si’pembuat settingan? Sekali lagi, saya tidak akan memperdulikan liputan media tentang perjalanan artis sepertiku.

Nevy diam membisu dan tidak lagi ingin berkata-kata ataukah melemparkan umpatan terhadapku. Dia selalu berperan sebagai sahabatku sejak dulu. Ketika seluruh masyarakat melempar hujatan, tetap saja dirinya berjuang keras umtuk membuatku tetap tersenyum.

 

FLASHBACK

 

“Dasar wanita murahan” papa selalu saja melempar makian terhadap mama.

Pertengkaran terus saja terjadi dalam keluarga. Saya hanya bisa menangis melihat bagaimana papa berteriak bahkan melakukan KDRT terhadap mama. Gadis kecil sepertiku menjalani situasi paling menakutkan tanpa jedah iklan. Apa mereka pernah tahu rasa sakit sedang mencabik-cabik dinding ruang hati di dalam sana?

Tuhan, dimana keberadaanMU? Sekali saja saya bisa merasakan dekapan seorang ayah. Saya tidak pernah tahu senyuman sang ayah bagi gadis kecilnya itu seperti apa. Goresan luka tercabik-cabik menghancurkan alur cerita gadis kecil bernama Hozhi.

“Zhi, anak mama paling imut” dekapan hangat mama tiap menyadari cabikan luka itu...

“Papa bukannya ga sayang, hanya saja dia sedikit lelah” berulang kali mama berujar tanpa rasa bosan sama sekali.

Pada akhirnya, mama meninggal di tangan papa. Apa karena papa lelah hingga akhirnya menghancurkan keluarganya sendiri? Hidupku menjalani kisah perjalanan paling hambar tiap saat.

Semua teman-temanku mengejek alur ceritaku. Tidak satupun dari mereka ingin menjadi sahabt terbaik. “Kasihan amat hidupnya” ucapan salah satu teman sekolahku.

“Mamanya dibunuh ma ayahnya sendiri” kalimat yang lainnya.

Tidak seorangpun simpatik terhadapku. Seolah mereka tertawa di atas luka yang sedang berjalan. “Kau menangis?” pertama kalinya seseorang berjalan ke arahku.

“Kata ayahku, hidup itu harus terus berjalan apa pun keadaannya” ucapan dia kembali.

Dia bisa berkata dengan bamgga sambil menyebutkan kata ayah di balik ucapannya? Hingga detik sekarang, saya tidak pernah tahu tentang defenisi seorang ayah. “Namaku Nevy” senyumnya melekat.

Sejak saat itu, gadis kecil bernama Hozhi pada akhirnya memiliki sahabat. Dia tidak pernah menjadi hakim atas apa yang sedang terjadi di sekitar jalan hidupku. Kami berdua bersama-sama bertumbuh dan menjalani banyak hal. Saya tidak lagi menjatuhkan air mata hanya karena masalah yang sedang terjadi.

 

FLASHBACK

Semua berubah setelah kami berdua memutuskan terjun ke dunia hiburan. Apa saya harus bertanggung jawab atas  cerita hidup anak polos yang pada akhirnya berubah hanya karena perbuatanku? Saya terjebak dalam industri dunia hiburan.

Kenyataannya adalah saya menarik tangan sahabat terbaikku untuk berjalan masuk hingga terjebak rantai belenggu begitu hebat. Dia tetap mendekap hangat diriku ketika salah satu tokoh penting menjebakku hingga menghancurkan hidupku. Industri hiburan memang kejam, kenapa bisa? Beberapa tokoh tertentu, entah berasal dari kalangan pengusaha, pejabat, dan lain sebagainya mencoba mengambil keuntungan.

Diam-diam memasukkan obat tidur hingga pada akhirnya ada banyak tokoh tertentu menikmati keindahan tubuh sang artis. Keadaan seperti itulah yang membuat para artis membiarkan tubuhnya tetap terjebak demi sebuah karir. Apa yang salah? Tidak semua artis ingin menjadi penjajah tubuh, hanya saja memang sejak awal mereka sudah terjebak.

Saya harus mengakui beberapa persen artis memang bermain nakal demi karir mereka sendiri, akan tetapi di lain tempat keadaan yang menyatakan satu kata jebakan dari oknum tertentu. “Apa kau tidak ingin kembali?” Nevy mencoba melemparkan pertanyaan.

“Saya tidak ingin kembali” ucapanku.

“Sepertinya hidup kita berdua tidak akan sama” Nevy berjalan pergi tanpa pernah memperdulikan perasaanku.

Saya tidak mungkin berenang begitu saja ke tepi hanya karena permasalahan ingin lepas dari rantai belenggu. Hingga detik sekarang, saya tidak pernah ingin tahu tentang defenisi kualitas dari kata nilai. Rantai belenggu itu terlalu kuat mengikat seluruh tubuhku hingga kedua bola mataku tidak pernah ingin melihat setitik sinar di tengah ruang gelap.

“Pergilah dan jangan kembali!” berteriak ke arahnya.

Melemparkan kalimat seperti tadi jauh lebih baik. Saya tidak mungkin bisa keluar dari belenggu rantai itu. Berjalan mencari pengakuan orang banyak terdengar menyenangkan buatku. Menciptakan settingan-settimgan cerita untuk menaikkan popularitas tetap kujalani seperti biasanya.

Seluruh masyarakat juga tahu kalau artis bernama Hozhi makin tenar lewat settingan tidak masuk akal. Settimgan apa saja? Berteriak memaki sutradara pernah kulakukan demi popularitas. Mengejek beberapa artis menjadi sesuatu hal yang lumrah. Saling memaki di dunia permedsosan sesuatu hal yang biasa. Dan masih banyak lagi settingan-settingan hanya demi popularitas.

Terkenal karena settingan merupakan hal biasa. Ada banyak tokoh menjadi pusat perhatian bukan karena prestasi, melainkan skenario tidak masuk akal hanya untuk mencari pengakuan hidup semata. Apa ini memalukan? Jawabannya, ternyata tidak sama sekali...

“Nevy” ucapan tanpa sadar di rumah.

“Saya terlalu bergantung ma dia” tertawa sinis.

Seperti ada yang hilang sejak perpisahan antara saya dan sahabat terbaikku. Sejauh ini, kami memang selalu bersama. Saya tidak habis pikir kemanapun tetap beriringan. Sampai dia kencan ataukah jalan ma pacarnya, tetap saja sosok Hozhi menjadi obat nyamuk paling hakiki.

Dia menyatakan ingin lepas dari industri hiburan di depan seluruh awak media. “Padahal karirnya sedang meroket  jauh berbeda denganku” bernada kesal.

Nevy selalu mendapat tawaran casting, pemeran utama, model, iklan, dan lain sebagainya. Dia tinggalkan begitu saja? Masalahnya dimana? Andaikan saya menjadi dirinya, 100% tidak akan kutinggalkan.

Hanya demi sebuah peran dalam satu proyek film, saya harus mengemis-ngemis bahkan menghalalkan segala cara. Dia benar-benar bodoh. Apa yang terjadi dengannya?

“Dia benar-benar serius ma perkataannya” kalimatku seketika.

Seluruh masyarakat menyayangkan keputusan gilanya untuk berhenti dari industri hiburan. Dia idiot atau gimana? Karir lagi naik daun 7 keliling, namun keputusan gilanya menghancurkan semua...

Saya tidak pernah peduli ucapan netisen tentangku yang terus saja mengekor di belakang selama ini. Kami berdua memang sahabat sejak kecil, jadi, apa pun itu akan selalu bersama. Kenyataannya memang karir dia melejit tanpa jedah iklan, sedang saya seperti cacing kepanasan tidak memiliki sesuatu yang menakjubkan.

Seluruh netisen selalu membuang ucapan negatif ketika berada di dunia medsos. “Pasti karena kelakuan manusia di sampingnya itu, sampai-sampai Nevy ganteng harus berhenti dari dunia hiburan” ucapan memaki salah seorang netisen.

“Dasar nenek sihir” mereka semua ramai mengomentari akun medsos milikku.

“Jauhi Nevy, tolong jangan bawah dia ke jurang bersama denganmu!” tulisan mereka kembali.

“Jangan sampai nenek sihir ini menyimpan rasa buat Nevy” ujar yang lainnya.

“What?” berteriak ingin memaki seketika.

Memang saya segila itu mengejar Nevy? Kami berdua hanya sebatas teman, tidak lebih dari itu. Apa saya atau mereka yang kurang waras? Ucapan apaan ini?

“Hei manusia tengil, karena kelakuanmu semua orang menyerang saya sebagai perusak karirmu” mengirim pesan buatnya.

 Dia sama sekali tidak merespon pesan yang sudah kukirim buatmya. “Nenek lampir ini selalu saja numpang tenar” ucapan menyindir dari seorang netisen.

“Paling ganas lagi karena nenek lampir ini selalu menjadi orang ketiga hubungan Nevy” kalimat mematikan kembali dilontarkan buatku.

Bagian 3...

 

Raut wajah Hozhi terlihat geram akan bahasa-bahasa sindiran dari banyaknya netisen. Seluruh netisen menyalahkan dirinya atas hubungan kandas ataukah keinginan Nevy untuk mengundurkan diri dari industri hiburan. “Kenapa mereka mempersalahkan saya?” kegeraman Hozhi.

“Nenek sihir, pergi saja ke laut” ucapan makian menjadi salah satu halaman terdepan media sosial.

“Kuharap Nevy segera sadar” ungkapan netisen lain.

“Artis settingan ga akan pernah bisa disandingkan ma artis papan atas seperti Nevy” kembali kolom keomentar Hozhi banjir hujatan.

“Kenapa jadi begini?” Hozhi.

“Matikan kolom komentarmu sekarang!” sebuah pesan masuk dari adiknya.

“Memang apa pedulimu?” balasan Hozhi.

“Hentikan kelakuan gilamu! Matikan atau kau rasakan sendiri akibatnya?” dibalik sikap cuek Hia, masih ada perhatian terhadap kakaknya.

“Gadis gila, apa kau mau mati? Segera matikan kolom komentarmu sekarang!” pesan Luann terhadapnya.

“Ga usah sok peduli” balasan Hozhi.

“Saya memang tidak peduli hidupmu, tapi jangan menjadi egois!” Luann.

“Gadis brengsek” kiriman pesan Luann.

Dengan tangan gemetar Hozhi segera mematikan kolom komentar miliknya. Hal lebih kacau lagi adalah akunnya dihack oleh seseorang. Akun medsos miliknya hilang ditelan bumi seketika sejam setelah kolom komentarnya dimatikan.

Dia tidak pernah tahu, bahwa Nevy merupakan pemain utama yang sedang mengambil alih akun medsos miliknya. “Saya ingin mati saja” teriak Hozhi seketika.

“Jangan menangis hanya karena karirmu tidak sesuai harapanmu!” entah dari mana Hia dapat membuka pintu apartemen miliknya.

“Apa pedulimu?” Hozhi.

“Siapa bilang saya peduli?” Hia.

“Kau membobol pintu apartemen milikku” Hozhi menatap serius adiknya.

“Karena saya lapar, jadi, singkat cerita seperti itulah” Hia.

Pertama kalinya Hiasber berjalan ke arah kakaknya setelah kepergian sang mama. Dia tidak pernah ingin tahu perjalanan hidup saudara-saudaranya, namun entah mengapa dua kaki Hia ingin berada di samping kakaknya.

“Gadis gila” teriak Luann menggedor-gedor pintu apartenen Hozhi.

“Kakak tidak sedang sakitkan?” Hozhi melemparkan pertanyaan.

Hal lebih mengejutkan lagi adalah Luann Jora berusaha menyembunyikan rasa khawatir terhadap adiknya. “Maaf, saya tidak pernah bisa menjadi kakak yang baik buatmu” suara hati Luann berdesir di dalam sana.

“Kakak Kaska yang paling agresif” teriak Kaska masuk ke dalam apartemen.

Cerita Hozhi pada akhirnya mempertemukan mereka berempat setelah sekian lama. Tanpa sadar rasa ingin mendekap satu sama lain sepertinya muncul ke permukaan begitu saja, akan tetapi sesuatu objek menghalangi mereka. Kepergian sang mama seolah menciptakan jarak cukup kuat di antara satu dengan lainnya.

“Kenapa kalian berkumpul seperti ini di apartemen milikku?” kening Hozhi mengkerut.

“Kebetulan saya lapar” Hia menjawab spontan.

“Hari ini saya libur kerja dan kebetulan lewat saja” Luann berusaha mencari alasan.

“Lantas dirimu?” penekanan Hozhi terhadap adik bungsunya.

“Kebetulan Kaska baru keluar dari penjara dan tidak punya rumah buat ditinggali” Kaska.

Artis settingan menatap tajam kecarah kakak dan adiknya. “Saya harus mandi” Luann masuk menerobos begitu saja ke kamar adiknya sambil membawa koper.

“Saya harus makan” Hia langsung menuju dapur.

“Dan saya butuh menonton film kartun” Kaska segera menuju sofa.

Antara ingin marah dan tertawa keras melihat tingkah laku kakak dan adiknya. Siapa pernah menduga peristiwa tersebut mempertemukan mereka? Rasa tidak ingin peduli satu sama lain, namun sepertinya situasi berkata lain.

Ujaran kebencian di luar sana memang bergema tiap saat, hanya saja sebuah objek sepertinya jauh lebih berperan. “Ka’Luann” pertama kalinya bagi seorang mafia menyebut nama kakaknya.

Bisa dikatakan, dibalik sikap cuek Hozhi terhadap saudara masih tetap terselip nada perhatian cukup kuat dibanding Luann. Tidak heran, jika ketiga saudara berjalan masuk ke apartemen miliknya. Hozhi si’artis settingan masih berusaha menyelipkan waktu berbicara ataukah sekedar menelepon saudaranya dengan berbagai alasan. Jauh berbeda dengan ketiga saudaranya, rasa tidak perduli bergema begitu kuat hingga komunikasi diantara mereka tidak pernah ada.

“Kabarmu?” Hia.

“Pertama kalinya kau berbicara sok kebapak-bapakan” tawa sinis Luann.

“Ada yang salah?” Hia.

“Tidak sama sekali, hanya saja pertama kalinya kita berdua bertatap muka” Luann.

“Kakak sendiri gimana?” Hia.

“Maksudmu?” Luann.

“Tidak pernah ingin tahu atau peduli adiknya sendiri” Hia.

“Apa kakak pernah sekali saja mendekap Hia sejak kepergian mama?” luapan rasa kecewa tiba-tiba saja bergema dari seorang Hia.

“Kau” Luann.

“Andaikan kakak bisa menjadi kakak yang peduli terhadap adiknya, tidak mungkin juga ka’Hozhi, Hia, Kaska bermain-main di tepi jurang” Hia seolah mempersalahkan banyak hal terhadap Luann.

“Apa saya pernah menyuruhmu menjadi personil mafia?” Luann sedikit geram.

“Apa saya pernah mendorongmu ke jurang paling dalam?” nada berteriak darinya.

“Semua itu keinginanmu dan bukan kesalahan kakakmu, ngerti?” Luann.

Sikap kejam dari seorang mafia, ternyata hanya bercerita di luar saja. Jauh di dalam ruang sana hatinya benar-benar rapuh. Keegoisan antara satu dengan lainnya menghancurkan kehangatan di antara mereka. Hiasber tidak lagi menjadi cucu yang dibanggakan oleh kakeknya. Dia tiba-tiba saja menjelma sebagai iblis paling menakutkan di antara para mafia.

“Mari kita jalani hidup masing-masing” Hozhi menerobos ke tengah mereka berdua.

“Kita berempat memang diciptakan untuk tetap tinggal dan berenang-renang di tengah jurang” Hozhi.

“Betul ucapan si’artis settimgan” Kaska sejak tadi mendengar dialog mereka.

“Jangan saling menyalahkan!” Hozhi.

“Kenapa?” Hiasber.

“Karena kita dilahirkan untuk tidak saling memperdulikan satu sama lain” Hozhi.

“Seperti itulah” Kaska.

“Kita memang ditakdirkan lahir dari orang tua masa bodoh, dan kenyataannya diciptakan untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai menakutkan di sebuah jurang” Hozhi.

“Tepat katamu, mari kita hidup untuk tidak saling memperdulikan” Luann.

“Kenapa kakak berdiri disini?” Hia.

“Kebetulan lewat” Luann.

“Ka’Luan dan Hozhi memang ditakdirkan berperan sebagai perempuan jalang dengan versi berbeda, Hia dilahirkan hanya untuk menjadi mafia kelas kakap, dan terakhir Kaska diciptakan sebagai narapidana yang tanpa jeda iklan harus keluar masuk penjara tanpa masa depan” Hozhi.

Cerita tentang kehangatan keluarga tidak akan pernah ada dalam kehidupan mereka. Hingga detik sekarang, ruang gelap itu jauh lebih kuat mencengkram dibanding apa pun juga. Rantai belenggu sepertinya tertawa keras ketika mempermainkan kehidupan antara satu sama lainnya.

Tidak ada yang salah dengan kehidupan sebagai keluarga broken home. Luann menangis sejadi-jadinya setelah berjalan keluar meninggalkan apartemen adiknya. “Mari kita hidup untuk tidak saling memperdulikan” tangis Luann makin histeris di dalam kamarnya.

“Apa itu rumah?” tertawa sinis dan berusaha menghentikan tangisnya.

“Maaf tidak bisa menjadi pengganti orang tua yang sempurna buat kalian berempat” sebuah pesan dari neneknya seperti biasa masuk.

Di tempat lain Hiasber adiknya duduk seperti orang bodoh di tepi dermaga. Membayangkan ucapan bodoh 2 kakaknya seolah makin menciptakan luka yang mungkin sulit untuk dibalut oleh apa pun.

 

 

Bagian 4...

 

HIASBER

 

Hal paling menakutkan dalam hidup adalah cerita tentang keluarga. Sejauh ini kisahku terdengar miris bersama rasa kelam yang memang sulit untuk dijabarkan. Hia benar-benar jatuh terperosok dalam satu lingkaran.

Hidupku sekarang dikenal sebagai mafia. Defenisi musik tak bernada? Rasa-rasanya saya ingin tertawa keras. Semua orang tidak akan pernah tahu tentang lingkaran permainan hidup di sepanjang alur ceritaku.

Kehidupan dengan cerita mafia dan sex? Terdengar menyenangkan. Perjalanan sex Hiasber memiliki petualangannya sendiri. Kelainan sex, hipersex, atau permasalahan lain tentang sex merupakan sesuatu objek normal. Manusia tidak akan bisa hidup tanpa sex.

“Jangan lupa masukkan barang tadi ke dalam perut wanita cantik itu!” memberi perintah.

Seperti inilah hidup para mafia ketika berjalan. Memainkan trik hanya untuk menyelundupkan obat-obat terlarang. Membayar beberapa petugas sudah menjadi rahasia umum bagi seluruh mafia. Berada dalam sebuah arena guna menyatakan tentang sebuah kekuatan.

Memiliki banyak tempat-tempat hiburan malam seolah memberi kesenangan tersendiri. “Layani pria disana!” berbisik terhadap salah satu wanita di sampingku.

Musik keras sepertinya menghancurkan ruang hati yang selama ini tercabik-cabik. “Habisi dia dan jangan meninggalkan bukti sedikitpun!” salah satu peranan mafia kelas kakap sebagai pembunuh bayaran.

“Rasakan pembalasanku” salah satu musuh terbesarku sedang membuat jebakan.

Dalam sekejap, seluruh tubuhku remuk dan tidak lagi memiliki kekuatan. Dimana kekuatan ketua mafia yang selalu menjadi akar kesombongan? Sepertinya riwayat hidup mafia kelas kakap bernama Hia akan lenyap ditelan bumi.

“Kau bukan lagi ketua mafia” ujar sahabatku menatap ke arahku.

Dia jauh lebih memilih objek lain dibanding sahabatnya sendiri. Menjadi pengkhianat merupakan sesuatu hal biasa bagi dunia mafia. Darah segar terus mengalir dari sekujur tubuhku karena sebuah pengkhianatan.

Apa saya akan mati? Semuanya terlihat gelap hingga saya tidak dapat membuka dua bola mataku. “Hia, apa kau tidak ingin belajar menatap pelita kecil di depanmu?” sebuah suara terdengar cukup kuat berteriak ke arahku.

“Anda siapa?” berteriak keras mencari arah suara tersebut.

Selama ini kehidupanku hanya bercerita tentang rantai belenggu. Saya tidak ingin tahu cerita dibalik pelita kecil. Ruang kosong itu bercerita  kisahku yang selalu saja terdengar pilu.

“Belajarlah mencari pelita kecil!” sekali lagi suara itu berbicara.

“Anda siapa?” berteriak keras.

Hidupmu akan selalu berharga? Kenapa mama memberiku nama seperti ini? Apa dia tahu rasanya kehilangan kehangatan? Kenapa mama harus pergi? Hidupku tidak akan seperti ini seandainya mama tetap tersenyum hangat ke arahku.

Jalan setapak itu dapat kujalani, andaikan ruang hatiku memahami defenisi seorang ayah. Saya ingin menjadi pelita di rumahku, akan tetapi mama tidak ingin bertahan hidup di sekitar alur ceritaku. Setidaknya, mama harus tetap berjuang sekalipun tangan papa melenyapkan dirinya...

“Kau sudah bangun?” seorang ibu melemparkan pertanyaan ke arahku.

“Mama” tanpa sadar dua tanganku segera memeluknya.

Pertama kalinya butiran-butiran kristal mengalir deras begitu saja. “Kenapa mama pergi?” terus saja terisak dalam tangisku.

Dia hanya menepuk-nepuk hangat punggungku. “Rasanya sakit” berkata-kata di alam bawah sadarku.

“Sekali saja Hia tertawa lebar” semakin memeluk erat dirinya.

Apa pelita kecil itu ingin tetap menatap ke arahku? Bagaimana saya akan berjalan? “Anda siapa?” tersadar sesuatu.

“Akhirnya kau siuman” ujar wanita tua di depanku.

“Dimana saya?”

“Kau tidak sadarkan diri selama beberapa hari dan terus saja mengigau” ucapannya.

“Makanlah!” memberiku semangkuk bubur.

“Jangan persalahkan ibumu seolah tidak ingin tinggal bersama denganmu!” ucapan wanita itu kembali.

“Maksud anda?” tidak mengerti.

“Kau terus saja mengigau bahkan marah karena mamamu pergi begitu saja” jawabannya.

“Ibumu pergi karena memang sudah waktu Tuhan untuk mengambil dia, ngerti?” kembali berkata-kata.

Sedikit saja, mama berusaha mengerti perasaanku. Setidaknya mama mencoba bertahan hidup sekalipun tangan papa menikam dirinya berulang kali. Saya hanya butuh mama bukan papa...

Wanita paruh baya di depanku seolah didatangkan oleh Sang Pencipta sebagai pengganti mama. “Nama anda siapa?” pertanyaan buatnya.

“Ibu Kasih” ujarnya.

“Kenapa?” ucapan beliau kembali.

“Nama anda terdengar seperti nama anak zaman sekarang, maksudku ga cocok saja” sedikit tertawa.

“Ayahku berkata kalau kasih dapat menyembuhkan luka paling mematikan sekalipun” ucapan dia kembali.

Apa itu ayah? Saya sendiri tidak akan pernah memahami defenisi dari senyum seorang ayah. Kenapa wanita tua itu menyebut kata ayah sebagai objek kata terbaik buatnya? Rasa muak, benci, marah, geram menyatu menjadi satu ketika kata tadi terdengar di sekitar telingaku.

“Siapa namamu?” ibu Kasih.

“Hiasber, panggil saja Hia” jawabku.

“Namamu cukup unik” ibu Kasih.

“Maksud anda?”

“Makna nama Hiasber?” ibu Kasih.

“Tidak ada sesuatu yang unik dari namaku” menjawab ucapannya.

“Sepertinya kau menutupi sesuatu” ibu Kasih.

“Saya tidak menyembunyikan apa pun”...

“Kau terus saja mengingau sambil menangis” ibu Kasih.

Saya diam seketika dan tidak lagi berusaha untuk menjabarkan sesuatu hal. “Kau tidak harus bercerita sekarang” ibu Kasih.

“Kurasa, tidak ada yang perlu saya ceritakan” penekanan kalimatku.

“Saya ingin menjadi pengganti ibumu” dia tiba-tiba saja mendekap hangat tubuhku.

“Apa kau mau?” ujarnya kembali.

“Memangnya anda tidak memiliki anak?”

“Dia berada di asrama, jadi, sepertinya Tuhan memang sengaja mengirim dirimu” ucapan darinya.

“Apa anak anda tidak keberatan?”

“Dia terus saja sibuk dengan aktifitas belajarnya, terkadang dia lupa menelepon ibunya sendiri” tawanya seketika.

“Dia sedang berjuang mendapat beasiswa luar negeri dan sepertinya putriku itu akan mencapai mimpinya” ibu Kasih.

Beasiswa luar negeri? Berarti anaknya memiliki prestasi. “Kenapa anda terlihat kurang nyaman?”

“Dia ingin menjadi pengacara, sedang mimpiku buatnya jauh berbeda dengan pilihannya” ibu Kasih.

“Anda ingin dia menjadi apa?”

“Menjadi seorang pendeta” ibu Kasih.

Tawaku meledak seketika. Pertama kalinya, saya mendengar seorang ibu ingin anaknya menjadi pendeta? Ga salah? Apa ibu itu yang gila atau saya? Minimal, anaknya tidak menjadi seperti kami berempat...

“Kenapa tertawa?” ibu Kasih.

“Menjadi seorang pengacara jauh lebih baik, dibanding menjadi pendeta” penekanan buatnya.

“Buatmu, tapi tidak buatku” ibu Kasih.

Pada akhirnya kami berdua tertawa keras. Seolah Sang Pencipta sengaja mengirimkan beliau buatku. Sejenak, saya lupa bagaimana kisah masa lalu bermuara jauh lebih menakutkan. Entah kenapa, wanita paruh baya itu tiap harinya mendekap erat tubuhku.

“Saya akan menjadi mama terbaik buatmu” senyum hangatnya seolah menghancurkan luka paling menakutkan di dalam sana.

Hidup dalam rumah sederhana tanpa anak dan suaminya. Ibu Kasih merupakan seorang janda. Memiliki anak, hanya saja anak semata wayangnya sibuk mengejar mimpinya. “Hidupmu akan selalu berharga, singkatan sekaligus arti dari nama Hiasber” ucapanku tiba-tiba.

“Siapa yang memberi nama itu?” ibu Kasih.

“Mama”...

“Lantas ayahmu?” ibu Kasih.

“Papa membunuh mama hingga hidupnya berakhir di penjara” kalimatku.

“Ibumu pasti menyadari tentang hidup anaknya ke depan sampai-sampai memberimu nama cukup unik” ibu Kasih.

“Maksud anda?”

“Jangan rusak alur ceritamu, kata kembali terdengar menyenangkan” ibu Kasih.

Ibu Kasih seolah menyadari tentang rantai belenggu sedang mengikat sekaligus mengekang hidupku di sekitar jalan setapak itu. Saya tidak pernah ingin melihat Tuhan. Buatku, Sang Pencipta tidak pernah adil menulis alur ceritaku. Nada musik di jalan itu selalu terdengar menakutkan. Tarian luka mencengkram jauh lebih mengerikan hingga semua terlihat gelap.

“Sepertinya kau butuh dekapan dan doa” senyumnya segera mendekap hangat tubuhku.

“Tuhan, balut luka yang selama ini mencabik-cabik jalan hidup Hia” sebuah pernyataan doa pertama kalinya berirama di sekitar telingaku.

Dia tidak pernah bosan berjalan ke arahku. Membiarkan saya tinggal di rumahnya selama beberapa waktu. Memberiku kehangatan keluarga yang selama ini hilang dari hidupku. Benar-benar menjadi pengganti mama.

“Hidup Hia akan selalu berharga apa pun keadaannya” membelai anak rambutku.

“Apa kau mau belajar mencari wajah Tuhan?” pertanyaan tersebut membuatku tidak merespon sama sekali.

“Tuhan tidak pernah jahat terhadap alur cerita Hia” dia benar-benar membaca pikiranku.

Entah kenapa ingatan mimpiku tentang mencari pelita kecil muncul seketika ke permukaan. Apa rantai belenggu itu bisa hancur? Apa saya bisa untuk tidak lagi berenang-renang di tengah jurang? Apa Tuhan bisa membalut luka yang selama ini diam bersembunyi di tempat paling menakutkan?

Apa pelita kecil itu akan mencoba bertahan hidup di dalam ruang yang penuh dengan sayatan mematikan? Selalu saja kata apa bermuara bahkan ingin mencari jawaban. Apa jalan setapak itu dapat memberi nada musik sedikit berbeda?

Kita memang ditakdirkan lahir dari orang tua masa bodoh, dan kenyataannya diciptakan untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai menakutkan di sebuah jurang” entah mengapa ingatan pernyataan kakakku pun ikut bermuara.

Ka’Luan dan Hozhi memang ditakdirkan berperan sebagai perempuan jalang dengan versi berbeda, Hia dilahirkan hanya untuk menjadi mafia kelas kakap, dan terakhir Kaska diciptakan sebagai narapidana yang tanpa jeda iklan harus keluar masuk penjara tanpa masa depan” kalimatnya terdengar menakutkan.

Apa Tuhan bisa mendekap kedua kakak dan adikku untuk mengobati luka hatinya? Tanpa sengaja, saya melihat ka’Luann menangis begitu kuat diam-diam setelah meninggalkan apartemen artis setingan. Pertama kalinya, butiran-butiran kristal itu mengalir begitu deras seolah menyatakan kalau selama ini dirinya terlalu menderita. Seandainya saja mama masih hidup...

Saya juga tidak pernah mengerti objek kata ayah terbaik buat anak-anaknya. Hai jiwaku, apa dirimu begitu lelah dengan keadaan? Bagaimana caramu berjalan untuk menghancurkan rantai belenggu itu?

Hai ruang hati yang terluka, bisakah kau mencoba untuk belajar menata ruanganmu sekalipun penuh dengan sayatan? Jalan setapak, berilah alur cerita bersama alunan musik sedikit berbeda! Tuhan, ajar saya untuk mengerti kalau tanganMU dapat melukis sesuatu objek terbaik buatku.

“Heal my wounds” suara hati bergema.

Saya ingin mencoba belajar mencari wajahMU. “Hidup Hia tetap berharga” Ibu Kasih.

“Saya memiliki sebuah ruang tempat untuk berkeluh kesah” beliau menarik tanganku menuju sebuah ruangan.

“Cari wajahNYA dan luapkan segala luka di dalam sana di ruangan ini!” dia tersenyum, kemudian berjalan keluar meninggalkan saya seorang diri.

“Kenapa anda mengunci saya disini?” menyadari sesuatu hal.

“Luapkan segala lukamu!” teriak ibu Kasih dari luar.

“Kau tidak bisa keluar sebelum menyelesaikan semuanya di hadapanNYA” teriaknya lagi.

“Pernyataan bodoh” balasku terdengar mengumpat.

Entah angin dari mana merasuk hingga membuat dua bola mataku terpejam. Tuhan, ajar saya untuk mengerti tentang karya tanganMU. Balut luka yang selalu saja mencabik-cabik bahkan tertawa keras di dalam sana.

“Ajar saya memahami pelita kecil di depanku” tiba-tiba saja tangisku pecah seketika.

Seolah beban tumpukan kayu di belakang punggungku hancur secara perlahan. Saya ingin mengerti ruang hati yang hancur dapat disembukan olehNYA. Tuhan, dekap erat hidupku sehingga saya lupa kalau ternyata luka itu terlalu dalam dan menancap begitu kuat.

“Tuhan” ruang hati berdesir begitu hebat.

Butiran kristal terus saja terjatuh berjam-jam lamanya. “Maaf atas semua kekecewaan, rasa marah, geram, kebencian, dan dosa yang sudah kulakukan”...

Saya tidak ingin lagi berenang-renang di tengah jurang. Tuhan, buktikan kalau ternyata ucapan kakakku salah tentang kehidupan kami yang memang ditakdirkan untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai. Hatinya juga terluka sama sepertiku.

Dekap erat hidupku hingga saya lupa dengan lukaku sendiri. Tuhan, jadilah dokter diantara segala dokter yang dapat menghancurkan sayatan paling menakutkan dalam ruang dinding hati kedua kakak dan adikku juga. Buktikan kalau alur cerita kami tidak selamanya bercerita tentang jurang ataukah luka sayatan demi sayatan.

Kedua kakakku terlalu pandai menyembunyikan luka sayatan itu, sedang adikku memainkan perannya sebagai napi dengan sangat baik hanya untuk melupakan rasa sakit di dalam dirinya. “Mafia kelas kakap, apa kau masih hidup?” sebuah pesan masuk di tengah tangisku.

“Kakak butuh teman buat mabuk gitulah” kebiasaan ka’Hoshi ketika mengirim pesan.

“Jangan katakan kalau kau sudah mati di tangan mereka” Dia tahu dari mana masalah pengeroyokan terhadapku.

 

Bagian 5...

 

HOZHI

 

Berita pengeroyokan mafia terbesar dengan cepat berhembus ke segala arah. Saya tidak akan pernah percaya kalau anak tengil itu akan jatuh di tangan musuh-musuhnya. Kenapa saya jadi khawatir begini? Bukankah kami dilahirkan untuk tidak saling memperdulikan?

Entah mengapa tidurku kurang nyenyak beberapa hari belakangan karena si’mafia tadi. Seluruh netisen makin melemparkan caci maki karena pemberitaan pengeroyokan mafia tersebut. “Mafia kelas kakap, segera balas pesanku!” berteriak memaki dalam kamar sambil menatap handpbone milikku.

“Ka’Hozhi” sebuah suara terdengar cukup jelas di telingaku.

Dia tahu kode pin apartemen milikku. Hal lebih gila lagi adalah sosok Hozhi menangis histeris seketika. Air mata itu mulai muncul kembali setelah sekian waktu lamanya menghilang ditelan bumi. Apa yang terjadi denganku?

Kenapa bisa butiran kristal tiba-tiba saja meledak di tempat tidak terduga? “Kenapa saya harus menangis buatmu? Kita berempat dilahirkan untuk tidak saling memperdulikan satu sama lain” berteriak memaki ke arahnya.

“Hia tidak ingin berenang di tengah jurang lagi” bahasa tadi segera menghentikan tangisku.

“Kau tidak sedang sakitkan?” segera menatap serius dirinya.

“Apa kakak tidak ingin mencoba sedikit saja melihat pelita kecil?” pertama kalinya, sosok Hia membawaku dalam dekapannya.

“Kau tidak salah makan?”

Apa Hia mengonsumsi sesuatu hingga membuatnya mendadak gila? Jelas-jelas dia jatuh ke tangan musuhnya, kemudian menghilang? Lantas adikku muncul dengan pertanyaan gila? Kemarin Nevy, lantas sekarang adikku? Apa yang sedang terjadi?

“Hia ingin membuktikan kalau ucapan kakak tentang takdir berenang-renang di tengah jurang tidak selamanya benar” Hiasber.

“Kau makan apa manusia tengil?”

“Hia ingin kakak berjalan bersama-sama dan memcoba untuk berlari keluar dari jurang” Hia.

“Kau gila” umpatanku.

Apa pun yang terjadi, takdir akan selamanya menetapkan 4 bersaudara untuk tetap terbelenggu oleh sebuah rantai terkuat. Jurang gelap itu terlalu dalam hingga membuat dua kaki tidak akan pernah bisa berlari keluar. Seluruh tubuh akan selamanya berada di tengah jurang oleh karena sayatan luka yang memang terlalu sulit untuk disembuhkan.

“Kau dan saya akan selamanya terbelenggu rantai, ngerti?” mencoba meyakinkan dirinya.

“Tapi, Hia ingin mencoba belajar menghancurkan rantai belenggu tadi, apa pun caranya” dia kembali membawaku masuk dalam pelukannya.

“Apa kakak tidak bosan hidup seperti sekarang ini?” Hia.

“Kau sendiri?”

“Apa kakak tidak ingin kembali melanjutkan kuliah medis kemarin?” Hia.

“Jangan mengingat masa lalu!” berusaha melepaskan diri.

Bagaimana saya akan berjalan? Kenapa juga manusia tengil itu berjalam ke arahku, bahkan menciptakan bahasa-bahasa puitis begini? Meninggalkan jurang? Tidak lagi berenang-renang di tengah jurang? Menghancurkan rantai belenggu? Memang dia bisa apa?

“Hia, dengar, kalau kau masih terus bercerita masalah seperti tadi, artinya tinggalkan tempat ini!” segera mengusir manusia tengil itu dari apartement milikku.

Hal lebih gila lagi adalah saya makin kesulitan tidur karena ucapannya. Apa itu pelita? Sejak kecil, kami tidak akan pernah mengerti permasalahan pelita di tempat gelap. Apa kakek dan nenek tidak pernah bisa mengajar tentang pelita? Mereka berdua pun terluka karena perbuatan anak menantunya sendiri.

Pilihan mereka ternyata salah, bahkan jauh dari kebahagiaan untuk anak sendiri. Bagaimana bisa anak semata wayangnya harus meninggal dengan cara mengenaskan? Bukan salah kakek dan nenek kalau ternyata kami berempat lebih memilih berenang-renang di tengah jurang. Masing-masing memiliki caranya sendiri untuk melupakan kisah masa lalu.

Kami berempat memang ditakdirkan untuk tidak akan pernah memiliki rumah, apa pun yang terjadi. “Rumahku akan disebut rumah doa” tertawa keras dalam kamar.

Jujur, saya tidak pernah memiliki rumah. Apa itu rumah doa? Saya sendiri tidak pernah mengerti defenisi rumah terlebih ketika menyelipkan kata doa di dalamnya. Muak melihat kisahku sendiri. Ruang hidupku tidak akan pernah tahu tentang jalan Tuhan.

Dimana Tuhan, ketika saya sedang menangis tersedu-sedu? Tuhan ada dimana, sewaktu mama menjatuhkan bulir kristal tiap saat, bahkan harus mati di tangan pria berhati iblis? Apa Tuhan bisa membalut luka yang sudah menancap kuat begitu dalam tanpa jedah iklan sama sekali?

Saya benci pelita kecil itu ketika ingin mencoba berjalan di sekitarku. Saya muak keberadaan Tuhan yang tidak pernah adil memberiku alur cerita. Nada musik di antara badai bergelombang terus saja menghantam hingga menciptakan sayatan luka makin kejam. Siapa itu Tuhan?

Pertama kalinya terdengar oleh telingaku, sosok Hiasber ingin berjalan menatap satu pelita kecil. Kisahku akan berjalan seperti apa? Apa Tuhan bisa menjadi sahabat? Rasanya mustahil...

“Apa yang dilakukan olehnya?” saya seperti penguntit berusaha mencari tahu keberadaan Hiasber.

Seorang wanita paruh baya sedang memeluk dirinya. Dia menjadi simpanan tante-tante? Beberapa waktu lalu, dia berkata ingin belajar berlari keluar dari jurang, lantas sekarang? Ketua mafia jatuh ke tangan tante-tante? Memangnya ga ada wanita lain apa?

Rasa-rasanya saya ingin menarik kuat rambut tante-tante itu. “Tante girang, beraninya menggoda pria muda” segera berjalan ke arah mereka. Berusaha menarik tubuhnya dari adikku.

“Cari yang seumuran denganmu!” berteriak memaki.

“Kakak” Hia berusaha menutup mulutku.

“Cari pria tua kek atau duda, pokoknya yang seumuran, jangan dia!” masih mengumpat.

“Kakak salah paham” Hia.

“Salah paham apa? Jelas-jelas tante-tante girang ini kegatelan menggoda pria muda” berusaha menjambak rambut wanita tua itu.

“Kakak salah paham” Hia.

“Tante girang ini memelukmu kuat-kuat” berteriak memaki.

“Kakak tidak akan biarkan tante girang ini memanfaatkan situasimu” berusaha lepas dari Hia.

“Bukannya kakak yang bilang kalau kita ditakdirkan untuk tidak saling memperdulikan” teriakan Hia.

Saya terdiam seketika. Entah kenapa saya tidak ingin adikku yang gantengnya minta ampun jatuh ke pelukan tante-tante girang. “Tapi, tidak begini juga keles” cetusku.

“Berarti kakak memang selalu perduli kehidupan Hia” Hia.

“Siapa bilang?”

“Mulut saja bicara ga perduli, tapi di dalam selalu berjalan ke depan dengan alasan aneh, padahal sebenarnya pedulinya jauh lebih kuat” Hia.

“Lakukan sesuka hatimu!” kalimatku.

“Ternyata dia kakakmu” tante girang itu tersenyum ke arahku.

“Artis tukang onar, suka settingan, dan lain sebagainya ternyata kakakmu” sindiran tante girang.

“Jangan dekati adikku, cari duda saja dan jangan mencari pria muda!” memberi pernyataan buatnya.

“Dia yang menyelamatkan nyawa Hia beberapa waktu lalu” Hia.

“Tidak berarti kau jadi simpanan tante-tante” cetusku sangat kesal.

“Dia yang mengajarkan Hia untuk belajar berlari dari jurang” Hia.

Seketika rasa malu mengudara begitu saja. Kenapa saya jadi gila begini? Wanita tua itu menatap tajam ke arahku selama beberapa saat. Saya hanya diam tanpa berkata-kata lagi. “Apa kau lapar?” pertanyaan pertama dari wanita tua.

“Tidak” jawaban buatnya.

“Mau lapar atau tidak, tetap kau harus makan kalau si’pemilik rumah menyodorkan makanan di meja!” wanita tua.

Hia yang kukenal dulu jauh berbeda dengan sekarang. “Dia pengganti mama” Hia tiba-tiba saja mendekap kuat tubuhku.

Tidak dapat disangkal kalau tentang sosok Hia yang selalu merindukan kehadiran mama. Wanita tua itu benar-benar berperan penting sebagai pengganti mama buatnya. Adikku benar-benar berubah dan tidak lagi menjadi mafia paling menakutkan?

“Apa kau tidak mau mencoba mencari pelita kecil seperti adikmu?” ucapan wanita tua.

“Lupakan pelita kecil, ngerti?” ujarku seketika.

“Dasar wanita tua” tetap menatap sinis dirinya tanpa rasa bersalah.

 

 

Bagian 6...

 

Hozhi hampir-hampir tidak percaya terhadap pemandangan yang baru saja terjadi. “Berarti adikku ga akan berenang lagi di tengah jurang?” pemikiran gila muncul memenuhi beranda otaknya.

“Apa saya terlalu jahat?” tanpa sengaja Hozhi mendengar percakapan kakaknya.

“Tadi bertemu wanita tua bersama Hia, sekarang bertemu pelakor kelas kakap di tempat begini lagi” gerutu Hozhi sangat kesal.

Kakinya ingin terus berjalan, namun terhenti seketika karena mendengar suara tangis histeris Luann kakaknya. “Mengambil sesuatu yang bukan milikku seolah saya paling menderita” Luann jatuh tersumgkur ke tanah.

“Saya benar-benar iblis berhati kejam, tapi kenapa kehidupanku tetap ingin berada di tempat tadi?” Luann masihh berkata-kata.

“Luann tidak pernah merebut siapapun” Nadav.

“Apa kau tahu kalau Luann sang pelakor ditakdirkan selamanya menjadi manusia paling kejam, jahat, iblis?” Luann.

“Saya tidak pernah bisa menjadi kakak sekaligus sahabat buat adik-adikku, bahkan selalu bersikap egois dan merasa paling menderita” tubuh Luann terlihat lelah menjalani peran menakutkan.

“Luann” Nadav.

“Saya tidak bisa menjadi sahabat buat Hozhi, padahal dirinya selalu saja menjadi bulan-bulanan netisen” Luann seolah melampiaskan sesuatu dalam dirinya.

“Kakak” Hozhi tanpa sengaja mendengar dibalik semak-semak.

“Bahkan 2 adikku hidup di jalan paling menakutkan, tapi saya tidak merasa bersalah atas kehidupan mereka” Luann.

“Saya merebutmu dari keluarga kecilmu, juga tidak membuatku merasa bersalah” Luann.

“Luann” Nadav.

“Saya selalu takut, tapi kenapa dua kakiku tetap ingin berjalan di tempat menakutkan itu?” tangis histeris Luann...

Hatinya benar-benar hancur karena tidak mengenal rumah. Luann tidak pernah ingin memperlihatkan semua objek dalam dirinya. Terlihat dingin, cuek, tidak pernah perduli menjadi gambaran dirinya. Di balik semua sikapnya, rasa bersalah bahkan selalu menyalahkan diri sendiri jauh lebih kuat berkumandang di dalam sana.

“Apa rasa sesak kakakku kelewat menakutkan?” Hozhi menatap dari semak-semak bagaimana Luann terus saja menjatuhkan air matanya.

Sesuatu yang sulit dijelaskan antara satu sama lain. Luann diam merenung dalam kamarnya setelah semua yang terjadi. “Kenapa saya harus menangis?” Luann menyesal meluapkan sisi emosionalnya.

“Maaf, selalu menjadi egois” ucapan Luann menatap wajah ketiga adiknya.

“Saya bukan kakak yang baik, bahkan selalu membuat kalian makin kecewa terhadap banyak hal di luar sana” Luann selalu menyesali semua perbuatannya.

Andaikan waktu dapat diputar kembali, tentu dia ingin belajar menjadi tiang pondasi bagi ketiga adiknya. “Hal terburuk dari kisahku karena menjadi jalang dan tidak pernah pernah bisa melepas apa yang bukan miliknya”  Luann terus saja terisak dalam kamarnya.

Semua orang belum menyadari kalau dirinya sebentar lagi akan menjadi ibu dari pria beristri. Apa salah menjadi wanita simpanan? Menyukai dan tidak pernah ingin melepas sesuatu yang memang bukan sendiri. Bagaimana sosok Luann akan berjalan?

Tiba-tiba saja pintu apartemen miliknya berbunyi. Segera menghentikan tangisnya untuk berjalan keluar dari kamar. “Hai bos besar” Hozhi berpura-pura tidak tahu kalau kakaknya selalu saja menjatuhkan air mata.

“Mau apa kemari?” sikap dimgin Luann seperti biasa berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya.

“Saya lapar, makanya datang buat cari makan. Ngerti bos?” Hozhi.

“Dasar” Luann.

“Hozhi baru sadar kalau apartemen milikmu terasa nyaman buat ditinggali” Hozhi.

“Maksudmu?” Luann.

“Hozhi ingin tidur beberapa hari disini biar bisa menghindari cibiran netisen” Hozhi.

“Jangan bertingkah aneh” Luann.

“Hozhi akan tetap tinggal disini selama beberapa hari ke depan, suka maupun tidak” Hozhi.

“Terserah” Luann.

“Terima kasih lagi bos” teriak Hozhi menuju dapur untuk mencari makanan.

Hozhi dapat melihat wajah sedih kakaknya karena rasa bersalah. Berpura-pura tidak tahu dan berusaha untuk tetap berada di samping kakaknya. “Ka’Luann tidak perlu merasa bersalah” batin Hozhi di dalam sana.

“Semua karena takdir hingga membuat kita berempat harus hidup di tengah jurang “ Batin Hozhi kembali.

“Sepertinya, hanya tinggal kita bertiga ditakdirkan tetap berenang-renang di tengah jurang, masalahnya Hia sedang mencoba untuk berlari keluar” gerutu Hozhi lagi.   

Kisah hidup tanpa kehangatan orang tua menjadikan mereka berjalan tanpa arah. Semua sudah terjadi dengan cerita di masing-masing tempat. Bukan karena kakek dan nenek mereka tidak mampu memberi kehangatan, hanya saja luka itu terlalu dalam menancap. Sayatan demi sayatan selalu saja mencabik-cabik dinding ruang hati tanpa ampun.

“Kebetulan Hozhi masak lebih” Hozhi.

“Makanlah!” Hozhi.

“Cuma mie instan doang” Luann.

“Mending dari pada tidak sama sekali” Hozhi.

Luann duduk menikmati sajian mie instan di depannya. Dia sepertinya lupa untuk sesaat tentang tangisnya yang baru saja membahana di alamnya sendiri. Permainan hidup menciptakan akar pahit paling mematikan.

“Kita berdua memang ditakdirkan untuk menjadi jalang dengan versi sedikit berbeda” Hozhi.

“Mulai lagi” Luann.

“Hanya sedikit mempertegas dan itu bukan kesalahan siapa-siapa, melainkan takdir bersama keinginannya sendiri” Hozhi.

“Kuharap kau tidak menjadi monster dan hidup seperti diriku” Luann.

“Memangnya wajah kakak seperti monster?” Hozhi.

“Entahlah” Luann.

“Sekalipun wajahku jauh lebih cantik, tapi wajah kakak ga monster-monster amat” Hozhi.

“Jangan pernah menyukai milik orang lain” Luann.

“Menurut kakak, apa saya menyukai milik orang lain?” Hozhi.

“Entahlah” Luann menarik napas panjang.

Luann tidak ingin adiknya berjalan seperti dirinya. Menjadi simpanan hingga merusak kehidupan keluarga kecil seseorang di luar sana. “Apa kakak pernah berpikir untuk berlari keluar dari rantai belenggu?” Hozhi melemparkan sebuah pertanyaan.

“Kenapa melemparkan pertanyaan seperti tadi?” Luann.

“Apa kakak tahu?” Hozhi menatap serius Luann.

“Tentang?” Luann.

“Hia sedang berjuang keluar untuk menghancurkan rantai belenggu” Hozhi.

“Mafia menakutkan ingin apa?” Luann.

“Hiasber sedang mencoba menarik diri dari tengah jurang” Hozhi.

“Setidaknya dia tidak lagi menjadi monster” Luan seolah bernapas lega mendengar pengakuan adiknya.

“Apa kakak pernah berpikir untuk mencoba mencari pelita kecil?” Hozhi.

“Maksud ucapanmu?” Luann.

“Tidak lagi menginginkan tinggal berenang-renang di tengah jurang” Hozhi.

“Sepertinya rasa nyaman di tengah jurang jauh lebih kuat mendekap, dibanding mencoba berlari keluar” Luann.

“Sepertinya kita memang ditakdirkan tinggal di ruang gelap selamanya” Hozhi.

Dialog percakapan diantara mereka terdengar membosankan. Pada kenyataannya memilih berjalan tanpa arah merupakan pilihan terbaik. Sejak kecil Luann tidak pernah mengerti kehangatan seorang ayah hingga membuatnya mencari sesuatu yang dianggapnya sebagai kehangatan. Di tempat lain, Hozhi ingin menyatakan pada dunia tentang dirinya, namun menggunakan versi berlawanan hingga membuat dirinya terus saja terjebak.

Hiasber dengan segala akar kekecewaan menjadikan dirinya hancur berkeping-keping dalam sebuah dunia mafia. Sementara si’bungsu Kaska mendapat penolakan berulang kali oleh sang ayah, hingga mempengaruhi apa pun dalam dirinya sejak dalam kandugan.

“Hozhi harus pergi” ucapan Hpzhi setelah beberapa hari tinggal di apartemen kakaknya. Luann melarang Nadav bertemu dirinya selama Hozhi masih tinggal di apartemen. “Mau kemana?” Luann.

“Memang kakak ga kerja?” Hozhi.

“Lagi cuti kerja” Luann.

“Hozhi lagi ada pemotretan” Hozhi.

“Jangan menjadi monster sama sepertiku” Luann.

“Ka’Luann” Hozhi.

“Hozhi masih bisa kembali, jangan berenang terlalu dalam di tengah jurang” Luann.

“Kakak sendiri gimana?” Hozhi.

“Setidaknya kau masih bisa berpaling dan tidak menjadi sepertiku” pertama kalinya memeluk adiknya.

“Sepertinya Hozhi jauh lebih mengerikan dibanding kakak” Hozhi.

“Setidaknya kau tidak sedang merusak rumah  orang lain” Luann.

“Tenamg saja, Hozhi tidak akan pernah menyukai terlebih merampas milik orang lain” Hozhi.

“Tuhan, apa segitu sakit dan sesaknya ruang hati ka’Luann?” batin Hozhi.

Hozhi berjalan keluar dari apartemen meninggalkan Luann seorang diri. Selama ini hidupnya hanya dikenal sebagai artis pembuat sensasi, settingam, tukang onar, tidak berprestasi, dan segala jenis objek negatif lainnya. Luann masih menganggap adiknya memiliki hidup jauh lebih baik dibanding dirinya sendiri.

“Apa kakak sudah berubah pikiran?” sebuah pesan masuk dari Hia untuk Hozhi.

“Pertanyaan apaan ini?” balasan Hozhi.

“Mencoba mencari pelita kecil sepertinya jauh lebih menyenangkan” Hia.

“Memangnya mimpimu Cuma itu saja?” Hozhi.

 

 

Bagian 7...

 

HIASBER...

 

Diam dan tidak lagi membalas pesan kakakku. “Mimpi?”  duduk merenung.

Setiap orang memiliki mimpinya masing-masing, sedang Hia sendiri tidak mengerti sesuatu yang ingin dikejar.  Sepertinya saya sudah menemukan mimpiku setelah merenung semalaman. Segera berjalan mencari wanita tua itu hanya untuk mengungkapkan tentang mimpiku. “Saya sudah menemukan nada musik terbaik di sekitar ceritaku” berkata-kata di depannya.

“Terdengar menyenangkan” senyumnya.

“Ibu” berjalan memeluk dirinya.

Selamanya dia akan menjadi pengganti mama. “Hia ingin menjadi pendeta seperti keinginanmu” kalimat tersebut membuat dua bola matanya tidak berkedip sama sekali.

“Jangan bermain-main dengan kata pendeta” ibu Kasih.

“Apa yang salah dengan kata tadi?” pertanyaan buatnya.

“Anakmu tidak bisa memenuhi keinginan hatimu, berarti  Hia yang akan berjalan kesana sesuai impianmu” ujarku lagi.

“Apa Hia sudah berpikir dalam-dalam?” ibu Kasih.

“Bantu Hia menjadi seorang pendeta berkualitas” kalimatku.

Entah kenapa, kata pendeta terus saja terngiang di sekitar telingaku ketika ingin mencari mimpi di masa depan. Seorang dengan masa lalu suram ingin menjadi Hamba Tuhan terbaik di masa depan. Kehidupan sebagai mafia hanyala cerita kemarin, sedangkan napasku sekarang berbicara tentang menjadi pelita kecil.

“Jangan karena keinginan bodoh wanita tua di depanmu sampai kau merusak masa depanmu sendiri” ibu Kasih.

“Bukan karena keinginanmu juga, hanya saja sepertinya lebih pada kata panggilan semata” ungkapku.

“Dasar anak bodoh” sepertinya dia ingin menangis terharu mendengar pengakuan seorang mantan mafia.

“Bantu Hia mewujudkan mimpi bodoh tadi” menangis sambil sedikit tertawa.

Tidak ada yang salah dengan mimpiku. Saya benar-benar ingin meninggalkan cerita lama untuk berjalan menapaki cerita baru. Menjadi hamba Tuhan berkualitas memang tidak semuda yang dibayangkan, akan tetapi saya ingin belajar menggapainya.

“Kau harus belajar banyak hal tentang hidup” ucapan pertama ibu Kasih.

“Misalnya” ujarku.

“Kau tidak boleh langsung berdiri memberitakan kebenaran Tuhan di hadapan ratusan, ribuan, terlebih jutaan orang” ibu Kasih.

“Kenapa bisa? Bukannya pendeta berkhotbah di hadapan ribuan jemaat itu terdengar menyenangkan?”

“Apa kau tahu? Banyak pendeta tidak mengerti tentang hidup bahkan jatuh ke dalam jurang paling mematikan tanpa sadar karena hal seperti tadi” ibu Kasih.

Pendeta bisa jatuh? Saya pikir menjadi hamba Tuhan, tentu kehidupannya akan jauh lebih suci tanpa dosa. Kenapa bisa? Apa pendeta memiliki sisi gelap jauh lebih mengenaskan dibanding menjadi seorang mafia kelas kakap?

“Menjadi hamba Tuhan tanpa membayar, akan membuat hidup berjalan kembali ke jurang bahkan lebih ganas dibanding kehidupanmu sebagai mafia sebelum kau mengenal pertobatan” ibu Kasih.

“Lantas”

“Jangan berjalan ke arah ribuan jemaat sebelum kau membayar semuanya dengan harga cukup fnatastis dan terdengar mencekam berujung menakutkan” ibu Kasih.

Apa menjadi hamba Tuhan itu terdengar menakutkan? Wajar saja, anaknya tidak mau mengambil jalan sebagai pendeta dan lebih memilih pengacara. Sampai sekarang, saya belum pernah bertemu dengan anaknya. Kuliah di luar negeri hanya demi mewujudkan mimpinya sebagai pengacara terdengar luar biasa, tetapi tidak buat ibu yang sedang berdiri di sampingku.

“Jangan mengejar karunia!” ibu Kasih.

“Karunia?”

“Karunia menyembuhkan orang banyak, berdoa, urapan, & lain sebagainya yang berhubungan dengan kata tadi” ibu Kasih.

“Kenapa?”

“Kau akan jatuh tergeletak jauh lebih mengerikan dibanding menjadi seorang mafia kelas kakap” ibu Kasih.

Apa sisi gelap seorang hamba Tuhan sebegitu menakutkan? “Ada saatnya kau akan mengerti maksud ucapanku” ibu Kasih.

“Jangan mengambil pelayanan apa pun di dalam gereja kalau kau ingin menjadi hamba Tuhan berkualitas!” ibu Kasih tanpa jedah iklan berkata-kata.

“Maksud anda?”

“Maksudku, mulailah pelayanan yang dikatakan paling hina diantara semua pelayanan ketika berada di gereja!” ibu Kasih.

“Pelayanan hina?”

“Ada banyak orang kembali berjalan ke jurang tanpa sadar karena langsung ingin memasuki dunia pelayanan di atas rata-rata” ibu Kaaih.

“Pelayanan seperti apa?”

“Jadilah tukang pel maksudku cleaning servis gereja” ibu Kasih.

“What?” kalimatku hampir tidak percaya.

Saya ingin berteriak di hadapan banyak orang tentang isi hati Tuhan. Berkhotbah di antara ribuan bahkan jutaan jemaat, lantas? Apa saya sudah gila? Saya ingin hidup suci dengan cara seperti ini, hanya saja kenapa jadi cleaning servis?

“Seseorang yang baru bertobat sangat tidak masuk akal kalau sang gembala langsung memberi pelayanan tinggi tanpa harus memulai dari pelayanan paling hina” ibu Kasih.

Beliau membuatku bertingkah seperti manusia bodoh. Rasa judes, kesal, marah bertebaran dimana-mana. Pekerjaanku tiap hari ketika menginjak gereja hanya bercerita tentang cleaning servis dan bukan pengkhotbah handal. Hal lebih bodoh lagi adalah saya tetap mengikuti perintah wanita tua itu.

Membersihkan toilet, mengepel lantai gereja, menyapu halaman luas, dan lain sebagainya. “Manusia tengil” suara tidak asing lagi.

“Ngapain kakak kemari?” bersikap judes.

“Membawa makanan buat cleaning servis” tawa ka’Hozhi meledak seketika.

“Dari mafia paling ditakuti, lantas tiba-tiba berubah jadi cleaning servis hello kitty” sepertinya kakakku memang sengaja datang untuk mengejek.

“Mending dari pada jadi artis settingan” memberi sindiran.

“Calon pendeta ga boleh menghakimi, ngerti?” ka’Hozhi.

“Dari mana kakak tahu kalau saya nanti jadi pendeta?”

“Wanita tua itu” bisik ka’Hozhi.

“Setidaknya kakak juga harus berjalan bersama denganku”...

“Apa kau sudah gila? Seumur hidup saya tidak pernah ingin bercita-cita menjadi pendeta” ka’Hozhi.

“Apa kakak ga ada keinginan melanjutkan kuliah medis yang sudah terputus kemarin?” pertanyaan lain buatnya.

“Hentikan ocehanmu!” ka’Hozhi.

“Sepertinya ka’Hozhi orang pertama yang harus dimenangkan jiwanya ma calon pendeta sepertiku”...

“Dasar anak tengil” ka’Hozhi.

“Hia ga akan bosan mengajak kakak untuk menghancurkan rantai belenggu itu bersama-sama” ujarku.

“Kenapa kau tidak mengajak ka’Luann atau Kaska? Cari penyakit” ka’Hozhi.

“Hia butuh kakak untuk menarik mereka” jawaban buatnya.

“Kenapa harus saya?” ka’Hozhi.

“Entahlah, mungkin, sejak awal kakak yang selalu ada di samping Hia dengan beribu alasan, padahal pedulinya kelewat tinggi” ungkapan buatnya.

“Dasar anak bodoh” ka’Hozhi.

“Kakak hanya perlu mencoba saja” kalimatku.

“Terkadang, saya berpikir sama sepertimu, tapi sepertinya sesuatu menahanku untuk tetap berenang di tengah jurang dan membiarkan rantai belenggu itu terus saja mengikat begitu kuat bahkan sangat kuat” ka’Hozhi.

“Belum terlambat, semua yang kakak rasakan hanyalah intimidasi biar tetap berjalan seperti manusia bodoh di tengah jurang” ujarku.

Kakakku membutuhkan waktu untuk mengerti tentang cara berlari meninggalkan jurang. “Tinggalkan dunia keartisan, karena hidup kakak tidak lagi bercerita di sana!” menatap serius ke arahnya.

Tidak ada yang salah dengan dunia keartisan. Ka’Hozhi hanya ingin mencari pengakuan semata sehingga hidupnya berjalan ke sekitar industri hiburan tersebut. Industri hiburan bukan mimpinya sejak kecil. Bisa dikatakan kalau dia berjalan kesana hanya sekedar bahan pelarian sekaligus pelampiasan hidup semata.

“Anak tengil, jaga diri baik-baik” dia segera pergi seolah ingin menghindari pembicaraan lebih parah.

Tiap jam, napas hidupku hanya bercerita cleaning servis semata. Apa sisi gelap hamba Tuhan begitu menakutkan sehingga saya harus menjalani kehidupan seperti ini biar bisa terhindar? Saya pikir, seseorang yang dikatakan hamba Tuhan atau pelayan gereja akan memiliki kehidupan jauh lebih suci dan terkesan alim, akan tetapi hal tersebut seperti hanya cerita mitos belaka.

“Hia” salah satu hamba Tuhan senior sekaligus gembala di gereja tempatku menjadi cleaning servis menyapa sambil tersenyum.

“Ibu Kasih banyak bercerita tentangmu” bapak Jore kembali berbicara.

“Apa saya terlihat seperti orang bodoh sekarang?” pertanyaan buatnya.

“Sepertinya lebih dari kata bodoh, tapi sedikit imut” pak Jore.

“Apa kau benar-benar ingin menjadi hamba Tuhan?” pak Jore masih terus berbicara.

“Saya ingin menjadi hamba Tuhan berkualitas, gimana caranya?” menatap serius ke arahnya.

“Apa yang kau lakukan sekarang hanya 0,000 sekian %, Jadi apa kau masih ingin lanjut menjadi seorang hamba Tuhan?” pak Jore.

“Apa dunia hamba Tuhan harus seperti ini yah?”

“Kau bisa saja memberi kesaksian hidupmu sambil menjadi pengkhotbah di hadapan ratusan, ribuan, bahkan jutaan jemaat, tapi pada akhirnya hidupmu akan tergelincir ke jurang” pak Jore.

“Kenapa bisa?”

“Semua harus berproses. Seorang hamba Tuhan berkualitas harus melatih hidupnya di tempat paling hina untuk mengerti tentang banyak hal seperti iman sebesar biji sesawi dan lain sebagainya” pak Jore.

Ternyata menjadi cleaning servis gereja merupakan salah satu proses paling terkecil ketika hidup ingin berjalan ke dunia hamba Tuhan. “Sekalipun kau presiden yang baru bertobat dan ingin menjadi seorang pelayan, artinya kau harus memulai sebuah pelayanan paling hina bahkan tidak pernah dianggap sama sekali” ucapan pak Jore sebelum akhirnya berjalan meninggalkan diriku.

Merenung sepanjang malam tentang ucapan dari bibir mulutnya membuatku tersadar sesuatu hal. Apa saya harus menghentikan mimpiku menjadi seorang hamba Tuhan? Dunia hamba Tuhan tidaklah sesuci dan sealim bayangan pemikiranku ketika memasuki altar gereja. Pernyataan- pernyataan mereka membuatku tersadar sesuatu hal.

Seorang dengan masa lalu gelap hanya ingin mengejar mimpinya. Hai jiwaku, bersikap bijaklah ketika menatap satu objek! Sistem kepemimpinan gereja dengan memakai sistem keturunan harus belajar beberapa hal. Seorang hamba Tuhan dengan kapasitas terbesar dituntut mewajibkan anaknya menjalani satu proses paling mematikan andaikan menginginkan sang anak menjadi penerusnya kelak sebagai pemimpin dalam gereja.

“Jangan membuat anakmu memasuki jurang!” khotbah pak Jore selaku pemimpin ibadah.

“Kalau kau menginginkan anakmu menjadi penerusmu kelak, jangan buat dia langsung berdiri di hadapan ratusan bahkan jutaan jemaat sebagai pengkhotbah” pak Jore masih berkata-kata.

Mengajarkan satu harga mahal yang memang harus dibayar terlebih dahulu terkesan menakutkan, hanya saja akan menghasilkan kualitas kepemimpinan dalam gereja. Harga tersebut tidak dapat dibayar hanya dengan waktu 1 atau 2 bulan semata. Menjalani proses panjang hingga bertahun-tahun lamanya merupakan kewajiban bagi seluruh hamba Tuhan yang menginginkan sistem keturunan digunakan dalam kepemimpinan di gereja.

Belajar merendahkan hati memang hal tersulit untuk dilakukan, namun ketika hidup mencoba berada di satu fase bersama proses mematikan, maka semua akan menjadi berbeda di dalam kepemimpinan gereja. “Tuhan, ajar saya mengerti proses panjangMU memang akan menghasilkan emas” desiran suara hati berkumandang keras di dalam sana.

“Saya ingin belajar mengerti tentang harga mahal untuk menjadi hamba Tuhan berkualitas” ucapanku tanpa basa basi di hadapan pak Jore.

“Apa kau yakin?” pak Jore.

“Tentu saja” kalimatku.

“Ikuti saya!” pak Jore membawaku ke suatu tempat.

“Kau harus tinggal di rumah ini untuk merawat anak-anak autisme selain menjadi cleaning servis gereja!” pak Jore.

Sebuah rumah sederhana dengan banyaknya anak autisme. “Kalau kau berhasil melewati bagian dari tantangan hidup disini artinya level berikutnya sedang menunggumu” pak Jore.

“Apa saya sudah berada di level tinggi?”

“Proses yang kau jalani sekarang baru berada di 0,000000 sekian %, understand?” pak Jore.

Wajahku terlihat lemas seketika. Apa saya  berhenti saja? “Menjadi hamba Tuhan berkualitas tidak semudah yang kau bayangkan” pak Jore.

Level autisme memiliki banyak versi. Entah kenapa sesuatu menahan saya untuk tetap ingin berjalan. Hai jiwaku, tetaplah menatap sesuatu objek terbaik. Bagaimana bisa seorang mantan mafia kelas kakap menjalani hidup serendah ini? Semua orang takut tiap melihat ke arahku sebelum mengerti tentang pelita kecil.

Selama ini saya menganggap kehidupanku memang paling menderita dan tersakiti, namun kenyataannya tidak sama sekali. Sosok Hia masih terlahir normal bahkan dapat melakukan banyak hal. Merasa paling kesepian, tidak memiliki siapapun, tidak memiliki rumah, dan lain sebagainya itulah gambaran ceritaku.

Kenyataan yang ada adalah saya masih memiliki ka’ Luann, ka’Hozhi, Kaska, kakek, terakhir nenek. Apa anak autisme di rumah ini memiliki keluarga? Semua keluarga membuangnya. Kalaupun mereka  memiliki keluarga, tetap saja kehidupan mereka jauh berbeda dengan kondisi normal.

Rasa-rasanya saya ingin berlari ke pelukan kakek dan nenek hanya untuk meminta maaf. “Karakter orang banyak memiliki variasi berbeda-beda, kalau kau lulus menjadi pengasuh kelompok autisme...” pak Jore menatap ke arahku.

“Artinya?”

“Suatu hari kelak kau dapat bertahan sekaligus mengerti cara menghadapi karakter manusia-manusia di sekitarmu” pak Jore.

Saya memiliki banyak kesulitan berhadapan dengan kelompok tersebut. Seseorang dengan masa lalu keras, pemarah, emosional labil, sombong, menyeeamkan sedang belajar mendekap hangat kaum autisme. Bisakah saya memahami dekapan hangat itu?

“Saya akan berjalan ke tantangan seperti apa, andaikan saya lulus di rumah itu?” melemparkan pertanyaan seketika ketika pak Jora datang berkunjung.

“Kau akan kembali menjalani level berikutnya” pak Jore.

“Level seperti apa?”

“Berada di sebuah lingkungan penyakit kusta untuk menjadi sahabat” pak Jore.

“Kenapa?”

“Setidaknya kau mengerti, seorang hamba Tuhan berkualitas tidak sedang bercerita tentang karunia-karunia tinggi ataukah fasih lidahnya ketika berkhotbah” pak Jora.

“Setelahnya?”

“Kau harus belajar untuk memberikan harapan dan mengajarkan pelita kecil terhadap kelompok penyakit HIV” pak Jora.

“Terkadang mereka hanyalah korban, namun seluruh masyarakat menjauhi bahkan membuang dengan berbagai alasan” Pak Jore.

“Kenapa?”

“Menjadi hamba Tuhan berkualitas tidak sedang bercerita tentang seberapa banyak mujizat yang dilakukan, melainkan hidupmu tidak pernah menjaga jarak dengan siapapun di depanmu” pak Jore.

“Nubuat, penglihatan, bahasa roh,  menyembuhkan orang sakit, dan segala jenis karunia paling tinggi sekalipun akan berlalu” pak Jore.

“Saya seperti manusia bodoh”

“Pengharapan, iman, dan kasih akan tetap tinggal tenang  pak Jora. Jujur, saya sendiri kurang memahami karunia-karunia, namun seiring berjalannya waktu kehidupanku mulai mengerti maksud ucapan kata tadi. Hal tergila lagi adalah saya harus merawat sekumpulan orang gila di sebuah rumah sakit jiwa, selain menjalani aktivitas tadi.

“Manusia tengil, posisimu sekarang dimana?” nada berteriak ka’Hozhi seperti biasanya di telepon.

 

Bagian 8...

 

HOZHI

 

Kenapa saya merindukan manusia tengil itu? Kehidupanku terus saja gelisah akibat ucapannya. Mencoba berlari keluar dari tengah jurang? Memang bisa?

Sepertinya ucapan manusia tengil memang benar kalau alur ceritaku sebenarnya tidak bercerita di dunia industri hiburan. Kenapa saya tidak kembali ke dunia medis? Kenyataan sebenarnya adalah saya memiliki ijasah medis, hanya saja mulutku sedikit berbohong kalau kuliahku berhenti di tengah jalan. Kakek dan nenek sama sekali tidak menyadari acara kelulusanku.

Diam-diam saya melanjutkan kuliahku tanpa sepengetahuan mereka memakai uangku sendiri. “Tuhan, kalau memang keberadaanMU benar-benar ada, bantu hidupku untuk mengerti harapan di tengah semua rasa kecewa sekaligus amarahku” pertama kalinya menantang Tuhan yang saya anggap tidak pernah adil.

Hal terbodoh lagi, tiba-tiba saja saya bertemu Nevy. Diam seribu bahasa dan tidak lagi berteriak ke arahnya. Berlalu melewati Nevy adalah jalan terbaik. Habis-habisan dihujat karena dirinya memilih mundur dari industri dunia hiburan. Jalan pikirannya sulit diselami.

“Apa kau lapar?” dia tiba-tiba saja melemparkan pertanyaan.

Pertanyaan bodoh menurut pikiranku. Dia tanpa rasa bersalah melempar pertanyaan? Seluruh netisen memberi pandangan buruk tentangku. “Saya yang traktir” Nevy.

“Dasar pria brengsek” berteriak kesal ke arahnya.

Rasa-rasanya saya ingin memakan hidup-hidup manusia di depanku. Bagaimana tidak, segala jenis hujatan netisen terus saja bermunculan di dunia permedsosan. Saya dijadikan memeh lelucon oleh orang banyak akibat keputusan dia secara mendadak.

“Saya tidak pernah menyuruhmu berhenti, tapi kenapa saya yang harus jadi korban?” berteriak histeris di tengah jalan. Untung saja jalanan disini sepi tanpa siapapun.

“Apa kau tidak ingin berhenti?” Nevy.

“Saya tidak seperti dirimu”...

“Tempatmu bukan di sana” Nevy.

“Bodoh amat” berkata judes sambil berjalan pergi meninggalkan dirinya.

Ucapan Nevy dan adikku sama saja. “Manusia tengil, posisimu sekarang dimana?” mengirim pesan buat Hia.

“Kakak kesepian” pertama kalinya mengakui diriku mengalami perasaan seperti ini.

Berada di bibir pantai menikmati suasana malam seperti orang bodoh. “Ka’Hozy” Hia menyadari keberadaanku.

“Apa Tuhan bisa tahu apa yang saya rasakan selama ini?” menangis histeris seketika.

“Ini kedua kalinya kakak nangis histeris” Hia.

“Apa kakak bisa keluar?”

Hia diam tanpa berkata-kata. Mendekap kuat tubuhku seolah tahu apa yang sedang kualami. Selama ini, saya berusaha menutupi semua objek luka di dalam sana. Saya ingin mencari tahu jawaban tentang hidupku sendiri. Kenapa Tuhan membuatku berada di tempat yang tidak pernah kuinginkan?

“Apa Tuhan bisa membalut luka di dalam sini?” pertanyaan buatnya.

“Pertanyaan bodoh” Hia semakin mendekap tubuhku.

Kehilangan arah, tidak pernah mengerti kehangatan keluarga, tidak memiliki rumah, dan lain sebagainya menjadikan hidup terus saja terbelenggu sesuatu hal menakutkan. Apa itu rumah? Bukankah selama ini saya memang tidak mengerti hidup.

“Apa Tuhan bisa membuktikan kalau DIA memang adil?” pertanyaanku lagi.

“Tuhan hanya minta kakak mencoba untuk percaya” Hia.

Kemarin saya melihat dia sebagai mafia berhati kejam, emosional, menakutkan, dan tidak mengenal belas kasih. Hari ini sosok Hia hanya bercerita tentang kehangatan dan kelembutan sebagai gambaran dirinya. Entah kenapa, saya bisa menangis begitu saja mengungkapkan apa yang ada di dalam sana.

Belajar percaya terhadap Tuhan? Apa ucapannya memang betul kalau kami tidak pernah ditakdirkan untuk berenang-renang di tengah jurang? Tuhan, bantu saya menghancurkan rantai belenggu itu. Ajar saya untuk percaya kalau diriMU mampu membalut luka hati paling menakutkan selama ini.

Diam-diam, saya mencoba untuk mengundurkan diri secara perlahan dari industri hiburan. Tidak ada yang salah dengan dunia tadi, hanya saja tempatku bukan di sana. Dunia settingan, peranan penghujat, ataukah memainkan permainan demi kemajuan karir tidak lagi kujalani. Nevy dan adikku berkata benar kalau ternyata tempatku bukan di sana.

Menghapus seluruh akun medsos milikku dengan peranan sebagai artis sedang kujalani sekarang ini. Diam-diam, saya mencoba memasukkan lamaran di beberapa rumah sakit tanpa sepengetahuan orang termasuk keluargaku.

“Tuhan, buktikan kalau ucapan Nevy dan Hia memang betul kalau hidupku ditakdirkan sebagai tenaga medis” ucapan menantang Tuhan.

Apa yang terjadi setelahnya? Di luar dugaan, salah satu rumah sakit menghubungiku. “Saya hampir tidak percaya” dua bola mataku terbelalak

Saya mengikuti beberapa tes dan pada akhirnya dinyatakan lulus. Apa ini jalan yang memang Tuhan kehendaki buatku? Saya meminta pihak rumah sakit merahasiakan identitasku agar tidak seorangpun mengenali diriku. “Kenapa kau ingin bekerja disini?” pertanyaan sang direktur.

“Untuk membuktikan kalau ternyata saya bisa melakukan satu petualangan selain menjadi artis kontroversial” jawaban buatnya.

Direktur rumah sakit menyadari identitas asliku tanpa harus memberitahunya. Nama panggung dan identitas ijasahku memang jauh berbeda. “Apa kau masih ingin bekerja dengan gaji kecil?” direktur rumah sakit melempar pertanyaan.

“Tidak menjadi masalah” ujarku.

“Kau bisa bekerja mulai besok” sang direktur.

“Kenapa anda mau menerimaku bekerja?”

“Sekedar penasaran” sang direktur.

“Penasaran?”

“Kau tidak sekacau yang orang pikirkan di luar sana” ucapan sang direktur seolah memberiku harapan.

Selama ini, saya hanya dikenal sebagai manusia gila, settingan, suka mencari masalah, kacau, jahat, terkenal bukan karena prestasi, dan lain sebagainya. “Hozhi pasti bisa” memberi semangat terhadap diri sendiri.

Tuhan, ubah hidupku menjadi pribadi yang lebih baik. Ajar saya mengerti kalau ternyata diriMU bisa dijadikan sahabat. Saya ingin diam-diam menjalani kehidupan baru.

Keluargaku tidak pernah tahu kalau ternyata sosok artis kontroversial maksudku settingan diam-diam menyelesaikan sekolah spesialisnya. Saya hanya ingin beristirahat dari medis hingga menyatakan diriku tidak ingin menjalani kehidupan rumah sakit selama ini. Entah apa yang merasuki hingga dua kakiku mencoba menyelesaikan studiku tanpa sepengetahuan orang.

Kau tidak bisa menyentuh pasien selama hatimu terselubung marah, emosional, pahit, dendam terhadap banyak objek” ingatan ucapan seorang dokter terhadapku hingga membuatku tidak ingin menyentuh pasien terus saja gentayangan.

Di depanmu bukan binatang atau mainan, di tanganmu ada nyawa yang harus kau selamatkan” ucapan kata-kata itu tidak akan pernah kulupakan.

Ruang hati bersama luka cukup dalam seolah dituntut untuk tidak pernah marah ataukah menyimpan akar kepahitan? Saya sendiri tidak pernah tahu cara menyembuhkan luka tadi. Andaikan mereka semua menjadi saya dengan sejuta sayatan terus saja mendekap tanpa henti.

Berusaha menjadi artis komtroversial hanya untuk mencari perhatian terdengar menyenangkan. Tuhan, sembuhkan luka sayatan di dalam sana yang terus saja mencabik-cabik tiap saat. Pada kemyataannya, seorang dokter tidak dapat menjalani perannya dengan baik bahkan dapat membuat kesalahan fatal andaikan memiliki akar pahit sekaligus amarah cukup menakutkan di dalam sana. Kenapa bisa? Percaya atau tidak, hal tersebut dapat merusak sistem kerja hingga nyawa pasien hilang lenyap tanpa sadar.

Kondisi seperti ini membuat saya berhenti total dari dunia medis. Tidak ada satupun obat yamg dapat menyembuhkan luka di dalam sana. Jauh lebih baik baik menjalani peran artis pembuat masalah dibanding terjun kembali ke dunia medis.

“Hozhi, setidaknya dirimu mencoba untuk percaya kalau DIA dapat menyembuhkan lukamu” desiran suara hati.

“Apa kau mau mencoba masuk ke ruang bedah?” dokter Ra’ melemparkan pertanyaan.

“Memang bisa?” pertanyaan balik.

“Menurutmu? Dokter Ra’

Mencoba masuk ke ruang bedah serta berjuang untuk melupakan tentang luka tadi. “Ternyata skilmu boleh juga” pertama kalinya seseorang memberiku pujian.

“Kau hanya butuh latihan sedikit dan berjuang untuk menyembuhkan sesuatu di dalam sini” dokter Ra menunjuk ruang hati yang penuh luka sayatan.

Saya hanya butuh sedikit latihan? “Permasalahan terbesar dokter bedah saat ini ada pada objek kata bersifat pasaran” dokter Ra mencoba menjabarkan pemikirannya ketika kami berada dalam pertemuan.

“Kenapa bisa?” dokter Ra memasang wajah mengkerut.

“Ibaratnya penulis menciptakan tulisan bersifat pasaran, ya tentu putarannya hanya di tempat tanpa ada kemajuan dan tidak mungkin dilirik oleh dunia internasional” dokter Ra memcoba menggambarkan sesuatu...

“Maksud ucapan dokter?” mencoba memgangkat tangan.

Ruang pertemuan bersama sekumpulan dokter sedang menuntut penjelasan kualitas medis. Pertama kalinya, saya mengikuti kegiatan seperti ini. Bagaimana perkembangan medis ke depan?

“Seorang dokter harus pintar memainkan sistem bedah lain dari pada yang lain, cekatan, tidak dimiliki oleh dokter bedah siapapun, tetapi berkualitas” dokter Ra mencoba menjabarkan.

Siapa pernah menduga, seorang artis settingan sedang berada dalam sekumpulan dokter. Apa mereka mengenalku? Jawabannya adalah saya terus saja memakai masker, jadi, mereka semua belum sadar. Nama panggung dan ijasahku jauh berbeda sehingga memungkinkan saya untuk melakukan penyamaran tingkat langit.

Tuhan, apa saya bisa menjadi dokter berkualitas tanpa settingan? Kembali membaca banyak buku-buku medis di sela-sela jam istirahat. Semua orang hanya tahu hidup Hozhi sebagai artis settimgan dan tidak lebih dari itu.

“Penanganan kasus memakai beberapa trik” membaca salah satu buku.

“Sepertinya kau giat berlatih ya?” dokter Ra membuatku kaget seketika.

“Dari mana anda tahu saya berada disini?”

“Kebetulan lewat” dokter Ra.

“Saya juga kebetulan salah masuk” balasku.

“Teknik menjahitmu cukup memiliki ciri khas” dokter Ra.

“Anda tidak sedang mengejekku?”

“Terlihat begitu tenang, cekatan, tanpa sadar teknik yang kau gunakan tidak dimiliki oleh dokter manapun dan hanya tanganmu saja terlihat memainkan skilnya di atas rata-rata” dokter Ra.

Saya mimpi apa semalam? Pertama kalinya, artis settingan mendapat sedikit pujian? Tuhan, jangan bangunkan saya dari tidurku kalau ini Cuma mimpi.

“Sepertinya, saya penasaran melihat teknik bedahmu seperti apa” dokter Ra.

“Sepertinya anda sedang mengejekku”

“Kenapa kau berhenti dari duri dunia medis? Kenapa kau kembali sekarang?” dokter Ra.

“Anda mengenalku?”

“Direktur sudah menjelaskan semuanya, sekalipun kau terus memakai masker, tapi saya akan tetap mengenali wajahmu artis settingan maksudku si’pembuat masalah” dokter Ra.

“Entahlah, jawaban paling tepat dari pertanyaan anda”...

“Pernyataan bodoh” dokter Ra.

“Seseorang mengatakan saya tidak bisa menjadi dokter kalau hidupku sendiri menyimpan kemarahan cukup besar di dalam sana” entah kenapa pernyataan tersebut keluar begitu saja.

“Lantas, kau memutuskan berhenti total karena tidak bisa membereskan hidupmu sendiri?” dokter Ra.

“Seperti yang anda lihat dan simpulkan” jawaban buatnya.

“Saya yang gila atau kau yang gila?” dokter Ra.

“Maksud anda?”

“Lebih memilih menjadi artis penuh sensasi, pembuat onar, settingan banyak, tukang aneh-anehlah dibanding?” dokter Ra.

“Dibanding membereskan hidupnya dan memasuki dunia medis?” dokter Ra menggeleng-geleng kepala mendengar ceritaku.

“Apa keluargamu tahu?” dokter Ra.

“Saya beralasan keluar negeri karena urusan pekerjaan sebagai model, padahal sebenarnya diam-diam melanjutkan studiku dengan mengambil spesialis” ujarku.

“Kau benar-benar pandai berakting” dokter Ra.

“Lantas kenapa kau mencoba kembali?” dokter Ra.

“Karena ucapan sahabat dan adikku selalu menginginkan saya kembali melanjutkan studiku”...

“Tapi, mereka tidak tahu kalau kau membodohi mereka?” dokter Ra.

“Menurutmu?”

“Selama ini kau merasa paling terluka, tersakiti, kesepian, selalu menderita, padahal kenyataannya di sekitarmu ada beberapa orang terus saja mendekapmu tanpa sadar” dokter Ra.

“Adikku saja baru bertobat keles” bahasa judes buatnya.

“Dasar dokter gila, sepertinya saya juga ikut gila karena perbuatanmu” dokter Ra.

“Kuharap kau tetap bertahan sebagai dokter, dibanding menjadi artis gila” dokter Ra.

“Kenapa?”

“Terlalu sayang kalau skil bedahmu terbuang begitu saja, hanya karena masalah sepele?” dokter Ra.

Apa ini pernyataan? Saya ingin mencoba belajar untuk tidak lagi menjadi manusia pencari masalah. Dokter Ra merupakan seorang dokter senior di rumah sakit. Dia dokter pria pertama yang menghargai bahkan memberiku harapan. “Kenapa namanya mirip  perempuan gitu?” menyadari nama dari dokter senior tadi.

Selalu terlihat serius ketika berbicara merupakan gambaran dokter Ra. Dia selalu berada di ruangannya seorang diri. “Apa yang sedang dia kerjakan?” sedikit mengintip aktifitasnya di ruangan.

“Masuklah! Jangan mengintip seperti orang bodoh di luar!” dokter Ra menyadari keberadaanku.

“Sepertinya karakter aslimu keluar” dokter Ra.

“Maksud ucapan dokter?”

“Karaktermu di industri hiburan dan sekarang, menurutmu?” dokter Ra.

Saya diam tidak berkata-kata ataukah membalas ucapannya. “Apa kau mau membantuku?” dokter Ra.

“Membantu?”

“Sebenarnya kalau diperhatikan IQ’mu lebih dari cukup kalau penyakitmu ga kumat” dokter Ra.

“Dokter seperti sahabatku” ucapanku.

“Nevy artis yang lagi booming karena mengundurkan diri dari industri hiburan di puncak karirnya, lantas sosok sepertimu jadi bulan-bulanan netisen sebagai penyebab dirinya berhenti” dokter Ra.

“Sejak dulu, dia selalu berada di sampingku tiap tangisku pecah” ucapanku.

“Bantu saya mencari beberapa data di selebaran kertas didepanmu!” dokter Ra berkata-kata.

Kenapa saya disuruh mencari beberapa jenis mesin? “IQ’mu sepertinya bisa membantuku” dokter Ra.

“Dokter sepertinya memanfaatkan saya” berujar ke arahnya.

“Menurutmu?” dokter Ra.

Siapa pernah menduga, seorang dokter sedang berjuang untuk merakit sebuah alat. Alat ini dapat membantu pasiem ketika berada di dalam ataupun luar kamar bedah. Permasalahan terbesar ruang bedah adalah kebutuhan darah yang betul-betul dibutuhkan.

Sebuah alat dirancang khusus bagi dunia medis. “Bagaimana kalau dokter mencoba memakai jenis mesin dengan kombimasi kecepatan di atas rata-rata seperti ini” mencoba menjabarkan sesuatu terhadapnya.

Pemasangan alat ini di seluruh rumah sakit, dimana saling berhubungan satu sama lain dengan bank darah bahkan keluar kota. Dokter Ra menjelaskan bahwa alat ini sangat penting. Ketika rumah sakit akan melakukan bedah, maka nakes secara langsung dapat menghubungi bank darah. Beberapa jam sebelum operasi dimulai, darah yang dibutuhkan harus sudah siap di bank darah.

Petugas tinggal mengirim data melalui aplikasi khusus yang secara langsung menghubungkan ke bank darah. Singkat cerita, petugas di bank tersebut menyiapkan jenis darah yang dibutuhkan sesuai jumlah permintaan dan dimasukkan dalam sebuah kotak khusus. Pada saat situasi pasien membutuhkan darah, maka salah satu petugas di kamar operasi hanya tinggal memainkan scan barcode yang telah diotomatiskan melalui alat pemindaian. Kotak darah dari bank darah tadi akan secara langsung meluncur menuju kamar bedah di rumah sakit tersebut dengan kecepatan di atas rata-rata.

Kotak ini dapat digunakan untuk mengirim darah ke rumah sakit baik dalam maupun luar kota andaikan golongan darah yang dibutuhkan tidak ada di kota tadi. Sistem penyimpanan dalam sebuah kotak menggunakan sistem khusus umtuk mencegah kerusakan darah. Dapat dikatakan bahwa alat disebut sebagai transportasi medis jalur bamk darah.

Jadi, kamar bedah harus memiliki mesin kotak transportasi tersebut agar secara langsung menghubungkan dengan bank darah baik dari dalam maupun luar kota. “Artis tukang buat sensasi, ternyata bisa juga diandalkan” dokter sedikit tertawa.

“Entahlah” tertawa sinis menanggapi bahan leluconnya.

“Sudah malam, jadwal shiftku sudah berakhir dok” segera pergi meninggalkan dirinya tanpa meminta persetujuan.

Siapa pernah menduga, sosok Hozhi seperti manusia kerasukan yang sedang berputar haluan menjadi 360°C. Apa ucapan Nevy dan Hia memang benar? Hidupku tidak pernah bercerita di dunia keartisan, hanya saja saya seolah memaksakan kehendak untuk tetap berada disana.

“Dokter, tolong selamatkan anak saya satu-satunya” seorang ibu sedang menangis berteriak tidak jauh dari tempatku.

Kenapa baju Hia berlumuran darah? Ada apa dengannya? “Ibu Kasih?” langsung mengenali wajah ibu tersebut.

Memakai masker rapat-rapat agar mereka tidak mengenali saya. Putri semata wayang ibu Kasih mengalami kecelakaan setelah kepulangannya dari LN. Hia berusaha menenangkan ibu Kasih. Hati seorang ibu hancur berkeping-keping melihat putrinya berjuang di dalam sana.

“Saya ingin menjadi asisten dokter” berbicara terhadap dokter Ra dengan napas terputus-putus karena berlari.

“Kenapa?” dokter Ra.

“Entahlah”...

“Kau mengenali dia?” dokter Ra menyadari sesuatu.

“Entahlah” menjawab kalimatnya. Beruntung saja dokter Ra mau mengizinkan saya berperan sebagai asistennya. Hal lebih mengejutkan lagi adalah Kaska menabrak putri semata wayang ibu itu, hingga Hia ingin menanggung kesalahan adiknya. Siapa pernah menduga peristiwa semacam ini terjadi?

 

 

Bagian 9...

 

Seorang ibu bertahun-tahun menunggu kedatangan putri semata wayangnya, namun mendapat kabar kurang menyenangkan. Baleza menjadi korban kecelakaan ketika hendak berjalan menuju rumah ibunya. Kaska tidak dapat mengendalikan motornya sendiri hingga tanpa sengaja menabrak gadis cantik tadi di bawah hujan deras.

Hia menyaksikan langsung pemandangan tersebut di depan matanya sendiri. Ibu Kasih mengajak Hia untuk menjemput putrinya di bandara. “Ibu, anakmu sudah balik” Baleza menyadari siapa yang sedang merangkulnya sekarang.

Tubuh Baleza berusaha menahan rasa sakit hanya ketika berbicara du samping ibunya. “Leza, sayang ibukan” tangis sang ibu histeris seketika.

Tubuh Hia berdiri kaku antara ingin berlari ke arah sang ibu yang sedang menangis histeris ataukah adiknya?  “Tuhan, apa ini proses buatku?” batin Hia berteriak di dalam sana.

“Tuhan, apa ini teguran buatku?” suara hatinya masih saja berteriak keras.

Di satu sisi seorang ibu dengan peranan terbaik membawanya berjalan mencari pelita kecil, namun di tempat lain adiknya juga membutuhkan dekapan. “Kakak pasti berjalan bersama denganmu” mendekap adiknya sebelum pihak kepolisian berjalan pergi membawa Kaska.

Hia mencoba tetap berada di samping ibu Kasih setelah kepergian adiknya. “Dokter, tolong selamatkan putri saya” tangis histeris ibu Kasih di rumah sakit.

“Kami akan berusaha” seorang dokter memegang kuat tangan ibu tersebut sebelum akhirnya berjalan menuju kamar operasi.

“Apa kau mengenal si’penabrak?” ibu Kasih melempar sebuah pertanyaan.

“Dia adikku, Kaska” Hia menjawab dengan wajah menunduk.

“Pukul atau maki saja diriku kalau ingin melampiaskan amarahmu” Hia.

“Memang semudah itu?” hati seorang ibu hancur berkeping-keping.

“Adikku tidak pernah merasakan kehangatan keluarga, jadi apa saya bisa menjadi pengganti dirinya untuk mempertanggung jawabkan semuanya?” Hia.

“Pertanyaan bodoh?” ibu Kasih.

Apa masalah ini selesai setelah ucapan Hia tadi? Hati seorang ibu hancur melihat anaknya sedang berjuang melwan maut di dalam sana? “Kaki Leza ga bisa bergerak” teriak Baleza beberapa hari setelah siuman.

“Leza ga bisa jalan” makin histeris menangis mencoba menggerakkan kedua kakinya. Dokter dan perawat mencoba menenangkan dirinya...

“Ibu, apa Leza tidak akan bisa berjalan lagi?” berteriak makin keras hingga seluruh penghuni rumah sakit mendengar teriakannya...

Tangis histeris Leza mengudara tanpa jedah iklan sama sekali. Seolah dunianya runtuh dalam sekejap. Memaki semua orang yang ada di sekitarnya. Ibunya berusaha umtuk menghentikan sikapnya, namun semua sia-sia.

“Dokter, kenapa dia lumpuh?” Hozhi melemparkan pertanyaan terhadap dokter Ra.

“Setidaknya kau sudah berusaha menyelamatkan nyawanya, jadi, jangan melemparkan pertanyaan karena kau sendiri tahu alasannya” dokter Ra.

“Pernyataan bodoh” Hozhi.

“Sepertinya kau lebih khawatir terhadap pria di pojokan sana, dibanding gadis histeris di dalam sana” ucapan dokter Ra sambil terus membaca beberapa diagnosa pasien.

“Kau tahu apa tentang hidupku” Hozhi terlihat kesal. Dia berjalan pergi meninggalkan dokter Ra di ruangannya.

Hozhi diam seribu bahasa berjalan seperti orang bodoh. “Dok, kalo jalan cobalah tengok sedikit ke kiri atau ke kanan” tegur salah seorang perawat di rumah sakit tersebut.

“Memangnya, apa yang sedang kulakukan?” Hozhi tersadar sesuatu.

“Menurut dokter sendiri, gimana?” suster tadi balik melemparkan pertanyaan.

“Maaf” Hozhi baru menyadari kalau ternyata dirinya menjatuhkan sebuah bak instrumen kecil berisi peralatan penting.

“Lupakan!” sang suster berkata-kata lagi.

“Pasien di dalam sana lumpuh bukan karena kegagalan dokter di meja bedah, melainkan beberapa faktor lain”...

“Kalau boleh tahu nama suster” Hozhi.

“Panggil saja suster Jora” sahutnya.

“Kenapa nama suster mirip dengan nama kakakku” Hozhi.

“Entahlah” suster Jora.

“Nama Jora ternyata sangat pasaran” Hozhi.

“Dokter, apa saya boleh tahu lebih detail kondisi pasien di kamar 345” tiba-tiba saja Hia berdiri di belakang mereka berdua.

“Mampus” Hozhi segera memperbaiki masker di sekitar wajahnya.

“Kalau ingin mendengar kondisi lebih detail pasien di dalam sana artinya anda harus berbicara langsung ma dokter Ra!” suster Jora menyadari sesuatu hal.

Hia masih belum menyadari keberadaan Hozhi di rumah sakit ini. Dia berjalan mencari ruangan dokter Ra, sedang Hozhi menarik na0as lega. “Hampir saja” jantung Hozhi sedikit lagi keluar dari sarangnya.

Identitasnya masih dirahasiakan dari keluarganya. Hozhi masih gengsi untuk mengakui dirinya sedang ingin belajar di tempat seharusnya untuk berdiri. Hujatan demi hujatan masih terus bergilir di dunia permedsosan. Dia ingin belajar untuk d dirinya diam membisu di tengah hujatan  sebagai artis sensasional.

 “Tiap orang memiliki masalahnya masing-masing, jadi, jangan pikirkan hujatan mereka” suster Jora seperti hantu gentayangan berdiri dalam ruangannya.

“Kau mengenalku?” Hozhi tersadar sesuatu.

“Memakai masker seperti apa pun, sepertinya saya akan tetap mengenal anda” suster Jora.

“Dokter Gia Genoiv alias Hozhi sang artis kontroversial” bisik suster Jora.

Raut wajah Hozhi berubah drastis seketika. “Saya tidak akan membeberkan identitas anda” suster Jora.

“Kenapa?” Hozhi.

“Entahlah” suster Jora.

“Apa kau pernah dibuli?” Hozhi.

“Entahlah” suster Jora.

“Buli itu seperti pedang tajam sangat menakutkan, kejam, pembunuhan paling mematikan” Hozhi.

“Rasa-rasanya saya ingin melenyapkan diriku sendiri karena hujatan mereka semua” Hozhi.

“Memangnya bunuh diri menyelesaikan masalah? Kasusnya justru semakin memperumit masalah” suster Jora.

“Sepertinya kau tidak pernah tahu rasanya dihujat habis-habisan bahkan apa pun yang kulakukan akan selalu salah di mata orang banyak” Hozhi.

“Sekali saja mereka menjadi diriku, tiap detik hidupku hanya bercerita tentang buli buli buli dan buli” Hozhi seolah meluapkan satu luka di dalam sana...

“Sejak kecil, apa pun dalam diriku selalu saja menjadi bahan ledekan banyak orang” suster Jora.

“Maksud ucapanmu?” Hozhi.

“Entah kenapa saya hampir benar-benar lupa bagaimana orang banyak menjadikan saya bahan olokan mereka dari ujung rambut hingga ujung kaki” suster Jora.

“Bagaimana kau bisa melewati semua?” Hozhi.

“Mungkin, karena mama selalu membawa saya berada dalam sebuah gereja kecil, jadi sepertinya Tuhan membuat saya lupa apa yang selalu kualami” suster Jora.

“Kenapa bisa?” Hozhi.

“Tuhan, buat saya lupa apa yang sudah terjadi hari ini, isi doaku di dalam hati. Padahal sejak kecil, di sekolah, di jalan, atau dimana saja tetap Jora juara dibuli paling nomor 1” suster Jora.

“Ternyata nasib kita...” Hozhi.

“Sepertinya dilemparkan bahasa paling terkasar sudah menjadi makananku untuk kesekian kalinya, bahkan hingga detik sekarang saya masih dibuli habis-habisan” suster Jora.

“Kenapa kau terlihat biasa saja?” Hozhi.

“Jawabannya simpel, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, selesai, habis masalah” suster Jora.

“Jawaban kacau” Hozhi.

“Seiring berjalannya waktu, saya sadar kalau ternyata buli itu memang sangat kejam, tetapi membentuk mental dan karakter seseorang yang ingin mengambil sisi positifnya bukan hanya sekedar menilai dari objek negatif semata” suster Jora.

“Jangan lakukan tindakan bodoh hanya karena kau menjadi bahan hujatan orang banyak, nikmati hidupmu di tengah hujatan tadi” suster Jora.

“Terkadang, saya merasa hidupku hancur berkeping-keping andaikan dua kakiku meninggalkan total dunia keartisan” Hozhi.

“Hidup itu tidak selamanya bercerita tentang keartisan semata, ada banyak hal lain yang bisa dilakukan selain menjadi artis, jadi, jangan bertahan di tempat yang sepertinya memang bukan alur dari ceritamu di depan” suster Jora.

“Apa saya bisa?” Hozhi.

“Coba lihat dirimu sekarang seorang dokter yang sangat terampil memainkan peralatan bedah tanpa sadar” suster Jora.

“Seandainya saya tidak mengambil jurusan dokter, apa saya bisa hidup di tempat lain?” Hozhi.

“Bekerja sebagai kasir toko atau kuli bangunan juga menyenangkan, tergantung caramu menikmati hidup. Semua mempunyai waktu, jadi, nikmati petualanganmu di tengah hujatan orang banyak” suster Jora.

“Jangan pernah melakukan tindakan bodoh hanya karena mereka melemparkan hujatan paling mematikan!” suster Jora.

“Tindakan bodoh” Hozhi.

“Ingin membunuh mereka atau apalah atau hal lebih rusak lagi bunuh diri” suster Jora.

“Sepertinya saya butuh bantuan suster” Hozhi.

“Bantuan?” suster Jora.

“Tolong kirimkan makanan ini buat pria di sana!” Hozhi menarik tangan suster Jora dan menunjuk adiknya Hia yang sedang duduk termenung

“Dugaanku benar, sepertinya lebih mengkhawatirkan pria itu” suster Jora.

“Dia adikku Hia, hatinya sepertinya sedang hancur berkeping-keping” Hozhi.

“Ibu yang sudah mengajarkan pelita kecil di hatinya menangis karena putri semata wayangnya lumpuh akibat ulah adikku” Hozhi.

“Dokter tidak pernah bercerita depan media masalah jumlah saudara deh” gurauan suster Jora.

“Ngapain diceritakan? Lagian adikku Hia sudah terkenal sebagai mafia” Hozhi.

“What? Pria itu mafia kelas kakap yang lagi viral?” suster Jora.

“Jangan keras-keras” Hozhi segera menyumbat mulut manusia di depannya.

“Kupikir dia sudah mati, ternyata masih hidup” suster Jora.

“Sepertinya anda sedang menyumpahi adikku biar mati ya?” Hozhi.

“Menurut anda?” suster Jora segera berjalan pergi.

“Pakai kabur segala lagi” Hozhi sedikit kesal.

Di tempat lain, Hia duduk terdiam tanpa berucap. “Buatmu” suster Jora tersenyum manis menyerahkan sebuah kotak berisi makanan.

“Hadapi masalahmu dan jangan terlihat seperti orang bodoh!” ucapan lantang suster Jora.

“Ucapan barusan buat saya?” Hia.

“Buat siapa lagi? Memangnya buat hantu, kan Cuma situ yang duduk di sini” suster Jora.

“Suster kenal saya?” Hia.

“Sepertinya sedikit kenal sih” ujar suster Jora.

“Sedikit kenal ya?” Hia.

“Jam istirahatku sudah selesai, jangan lupa bahagia” teriak suster Jora brrlalu meninggalkan Hia.

“Apa dia mengenalku?” terkejut diberikan kotak berisi makanan.

“Terlihat enak” Hia seolah terhibur melihat hidangan di depannya. Dia tidak tahu kalau ternyata makanan tadi berasal dari Hozhi. Kehidupan dengan kata selalu peduli mulai mengikat antara dia bersama saudaranya tanpa sadar.

Hia segera meminggalkan rumah sakit tersebut setelah menghabiskan makanan pemberian Hozhi. Dua kakinya segera mengemudikan motor miliknya menuju pusat lapas tempat Kaska ditahan. Hal lebih mengejutkan lagi adalah empat adik kakak itu bertemu...

“Kenapa kau ada disini?” Luann terkejut.

“Kebetulan lewat saja” Hozhi masih mencari alasan.

“Ka’Luann sendiri gimana?” Hia.

“Barang Kaska kebetulan terbawa dalam koperku, jadi, saya mengembalikan” Luann.

“Hia sendiri gimana?” Hozhi terlihat mencibir.

Pertama kalinya, sejarah menyatakan tiga kakak Kaska berkunjung ke penjara. “Kenapa kalian kemari?” dua bola mata Kaska tidak berkedip sekalipun.

“Kalian kemasukan Roh Kudus atau roh kudis?” Kaska menggosok-gosok dua bola matanya.

“Saya kebetulan lewat saja, ga tahu tuh kalau mereka berdua” Hozhi menunjuk Luann dan Hia.

“Saya mau kembalikan ini” Luann segera menarik boneka anjing kecil terlihat menggemeskan.

“Lantas ka’Hia?” Kaska.

“Saya mau mendekap adikku satu-satunya, sambil berucap kalau kau tidak akan pernah sendirian lagi menjalani banyak hal dalam hidupmu” Hia mendekap hangat adiknya.

“Kakak tidak salah makan, sejak kemarin ucapanmu sedikit aneh?” Kaska.

“Dia tidak salah makan, sepertinya sekarang kakakmu itu digambarkan sebagai anak yang hilang dan sudah kembali” Hozhi.

“What?” Kaska sepertinya tidak memikirkan hukuman yang sedang menanti dirinya.

“Ga usah kaget gitu kenapa” cibiran Luann.

Kaska jauh lebih terkejut melihat mafia kelas kakap berubah seribu derajat celcius dibanding peristiwa penabrakan hingga membuat sang korban lumpuh. “Tidak lama lagi dia akan menjadi seorang pendeta kelas kakap” Hozhi.

“What?” Kaska makin terkejut.

“Berhenti meledek” Hia.

“Makanan buatmu!” Hozhi memberi Kaska kotak makanan.

“Gadis itu lumpuh” Luann.

“Lebih parahnya, kakakmu Hia berhutang budi pada ibu dari gadis yang kau tabrak” Hozhi.

 

Bagian 10...

 

KASKA

 

“Ka’Luann tahu dari mana kalau dia lumpuh?” ka’Hia melemparkan pertanyaan seketika.

“Kebetulan tahu saja” ka’Luann.

“Ka’Luann sekarang sudah jadi detektif” ka’Hozhi.

Dialog percakapan di antara kami sedang terjadi. Kaska seorang anak bungsu dari 4 bersaudara. Hidup itu seolah tidak pernah adil buat kami berempat. Masing-masing memiliki caranya sendiri untuk mencari sesuatu yang hilang sekalipun jalan di depan membelok ke sebuah jurang terjal.

Saya tidak pernah tahu seperti apa wajah mama sejak masih bayi. Apa nenek tidak akan mungkin bisa berperan sebagai mama? Entahlah...

Kehilangan arah membuatku terus saja keluar masuk penjara. Kakakku Hia memang manusia paling jenius, kenapa bisa? Dia selalu lolos dari jeruji besi padahal mafia kelas kakap. Ka’Hia hidupnya jauh lebih menakutkan dibanding hidupku.

Entah angin apa hingga mereka bertiga berkumpul di sekitar lapas? Sejauh ini, kami diciptakan untuk tidak saling memperdulikan. Saya benar-benar tidak sengaja menabrak gadis itu. Salah satu dari temanku menjebakku. Tanpa sadar, temanku memotong rem motor setelah pertemuan kami. Kenapa saya bisa tahu? Pacarnya memberitahu kejadian sebenarnya setelah saya berada di sel penjara.

Saya hanya diam membisu dan membiarkan hukuman datang menimpa. Sepertinya, saya lebih senang menikmati jeruji penjara dibanding hidup bebas di luar sana. Tidak memiliki tujuan hidup dan mimpi menjadi salah satu alasan terkuat buatku.

Ketiga kakakku seolah mengisyaratkan satu objek kehangatan buatku secara tiba-tiba. Apa saya bahagia? Menangis? Terharu? Seorang Kaska ingin tetap bersikap acuh terhadap apa pun di depan.

Saya benar-benar terkejut melihat kakakku Hiasber tidak lagi menjadi manusia bengis seperti kemarin. “Kakak pasti berjalan bersama denganmu” ingatan ucapan ka’Hia terus saja memghantui pikiranku.

Dia datang hari ini dan kembali mendekap tubuhku. Rasanya hangat hingga membuat tubuhku sendiri ingin terus didekap olehnya. Saya cukup gengsi untuk mengakui kalimat tadi di hadapan mereka bertiga.

Ucapan ka’Hozhi sepertinya tidak berlaku buatnya tentang takdir kami yang akan selalu berenang-renang di tengah jurang. Apa ibu dari gadis itu akan membenci kakakku? Kenapa ka’Hia tidak ingin melemparkan caci maki ke arahku sekalipun?

“Kalau ingin memukulku, silahkan!” ujarku terhadap ka’Hia.

“Karena?” ka’Hozhi.

“Seperti ucapanmu tadi, Hia berhutang budi terhadap ibu dari gadis itu. Lantas menurutmu?” ka’Luann.

“Ka’Hia, jangan munafik, silahkan memukul!” kalimatku buatnya.

Terjadi keheningan diantara kami berempat selama beberapa waktu. “Apa Kaska bisa memberi ka’Hia kesempatan? Sekali saja untuk menjadi seorang kakak dan bukan menjadi hakim?” ka’Hia.

“Maksud ucapan ka’Hia?”

“Maaf untuk semua luka di dalam sini” ka’Hia menatap ke arahku sambil menunjuk ruang hati yang sebenarnya tercabik-cabik di dalam gelap.

Tiba-tiba saja ka’Hozhi memeluk kuat diriku seketika. “Saya juga ingin meminta maaf untuk banyak objek yang sudah memberimu sayatan” Ka’Hozhi.

Apa ka’Hozhi sedang mencoba belajar untuk berlari keluar dari jurang? Kenapa mereka berubah jadi aneh begini? Saya bisa merasakan air mata ka’Luann sepertinya ingin terjatuh, tetapi berusaha untuk menahannya.

“Kalau ka’Luann ingin memeluk Kaska, apa boleh?” rasa gengsi kakakku yang satu ini lari kemana?

Ka’Luann dengan sikap tidak pernah ingin peduli sepertinya hilang ditelan bumi. Apa yang sedang terjadi dengannya? Apa ka’Luann juga sedang ingin belajar keluar dari tengah jurang? Apa kakakku akan berhenti menjadi pelakor? Dia mencintai suami orang hingga tidak pernah memperdulikan banyak hal.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, hidup ka’Luann jauh lebih baik dibanding kami bertiga. Kesalahan terbesarnya hanya satu yaitu mencintai suami orang bahkan rela menjadi simpanan. Ka Hozhi, ka’Hia, juga diriku jauh lebih mengerikan karena benar-benar menikmati alur cerita di tengah jurang hingga terlihat sangat menakutkan.

“Tentu saja” entah kenapa ucapanku terlihat melupakan gengsi sama seperti dirinya.

Rasa-rasanya rasa sakit makin bergerumuh di dalam sana.  Saya sedang berusaha  menahan ojek tersebut di hadapan mereka bertiga. Apa ini yang dinamakan kehangatan keluarga?

Boneka anjing kecil itu sebenarnya sebagai penghibur buat ka’Luann. Kenapa dia bisa tahu kalau boneka ini milikku? Saya tidak sengaja melihat dia memegang boneka anjing kecil lucu menggemeskan pada salah satu toko.

Kenapa saya harus melihat dia menangis sejadi-jadinya seolah meluapkan banyak hal waktu itu bersama suami orang. Hal lebih bodoh lagi adalah saya melihat ka’Hozhi sebagai pendengar sejati di balik semak-semak sama sepertiku. Kehilangan arah, tidak memiliki tujuan hidup, terlihat bodoh menjadi gambaran kehidupan kami sejak dulu.

Tidak semua anak akan terlihat dewasa setelah mengalami kehidupan keluarga cukup menakutkan. 99% anak menyatakan akan menjalani masa suram, hambar, bermain-main di tengah jurang dikarenakan pertikaian terlebih perceraian orang tua. Sekalipun mereka tidak pernah mengungkit langsung di depanku, akan tetapi sosok Kaska menyadari bagaimana papa membunuh mama di depan mata ketiga kakakku, sedang saya semdiri masih bayi.

Apa ini yang dinamakan keluarga? Ketiga kakakku hanya korban dari sosok ayah paling kejam yang pernah ada. Perbuatan ayah membuatku tidak pernah melihat wajah ibuku seperti apa. Rasanya sakit melihat seorang anak kecil berpelukan kuat bersama ayahnya.

Seorang ibu tak kukenal ingin bertemu denganku setelah kepulangan mereka bertiga. Siapa dia? Saya tidak merasa mengenal ibu di depanku saat ini. “Apa kau sudah makan?” tanya ibu itu.

“Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” pertanyaan buatnya.

“Entahlah” ucapan sang ibu.

“Lantas?”

“Ibu sepertiku hanya sekedar penasaran saja terhadap sosok manusia di depanku?” kalimat sang ibu.

“Penasaran?”

“Kebetulan saya lewat saja ada yang salah?” kalimatnya lagi.

“Sepertinya salah deh” balasanku.

“Kalau boleh tahu kenapa mendekam dalam sel tahanan?” pertanyaan buatku.

“Saya sudah terbiasa tinggal di penjara dan tidak ada yang salah” ujarku.

“Jawaban bodoh. Apa kau tidak punya mimpi?” pertanyaan ibu itu kembali.

“Justru karena saya tidak mempunyai mimpi itulah hingga hidupku terdengar jauh lebih menyenangkan jika menikmati jeruji besi” sedikit tertawa sinis.

“Sekali lagi saya mendapat jawaban bodoh darimu” sang Ibu.

“Lantas?”

“Apa kau tidak kasihan melihat tiga kakakmu tadi?” ujarnya.

“Ternyata anda penguping sejati ya?”

“Kebetulan lewat saja” kalimatnya.

“Mereka juga baru datang menjenguk sejak saya keluar masuk jeruji besi” ucapku.

“Untuk kesekian kalinya kau memberiku jawaban bodoh, anak ingusan” ujarnya.

“Entahlah”...

“Belum terlambat untuk anak sepertimu mencoba bermimpi bahkan mulai berjalan. Saya menunggu jawabanmu 3 hari lagi, ngerti?” kalimatnya kemudian berjalan pergi...

Apa saya pantas bercerita tentang mimpi? Bisakah satu objek masa depan berjalan ke arahku? Terkadang, seorang Kaska ingin menjadi sama seperti kebanyakan orang di luar sana. Memiliki banyak teman, bersekolah, mengejar mimpi, mengerti defenisi kehangatan keluarga, dan masih banyak lagi menjadi sesuatu yang kurindukan.

Bukan salah kakek, nenek, ataukah ketiga kakakku hingga sosok Kaska selalu berakhir di penjara. Semua ini tentang pilihan hidup. Mencari jati diri yang pada akhirnya dua kaki selalu saja menginjakkan satu ruang gelap bahkan terlalu gelap.

“Memang dia siapa?” mencoba berpikir ucapan ibu tadi. Tidak menyebutkan nama, menuntut saya belajar bermimpi, dan lain sebagainya? Kenapa juga saya harus gila berpikir? Masa bodoh...

Apa kelebihanku? Kalau kekurangan ada banyak, tetapi kelebihan? Semua orang akan menertawakan hidupku seketika. Sudah tidak memiliki kelebihan, dua kaki bermain-main di tengah jurang, terdengar hebat bagi tiap telinga di sekitar. Menjadi pertanyaan, apa saya bisa memiliki masa depan sama seperti kebanyakan orang banyak? Apa Tuhan masih mau menatap ke arahku?

Seorang Kaska sangat membenci Tuhan karena semua yang sudah terjadi. Lantas, kenapa saya harus menyebut namaNYA? Dimana Tuhan waktu Kaska ingin dipeluk mama? Kenapa Tuhan mengirimkan sosok ayah paling jahat buat kami berempat?

“Kaska sudah makan?” ka’Hia berkunjung ke tempatku.

“Kenapa kakak tidak memukul Kaska biar impas?” pertanyaan buatnya.

“Apa di mata Kaska Cuma ada kata seperti tadi?” ka’Hia.

“Gadis itu lumpuh, sedang kakak sendiri berhutang ma ibunya?” penekanan buat ka’Hia.

“Kakak akan terlihat jauh lebih menakutkan kalau dua tanganku memainkan pukulan buatmu” ka’Hia.

“Kaska sudah terbiasa tinggal di penjara, jadi, jangan terlalu khawatir” ujarku.

“Apa kau tidak ingin belajar melihat pelita kecil sekalipun Cuma sedikit?” ka’Hia.

“Maksud ucapan ka’Hia?”

“Menurutmu?” ka’Hia.

“Ka’Hia sadar tidak, kalau selamanya kita akan tetap tinggal di jurang?”

“Kalimat tadi tidak akan berlaku lagi buat kita berempat” raut wajah ka’Hia tetap terlihat tenang.

“Jangan persalahkan Tuhan untuk apa yang sudah terjadi” ka’Hia seolah membaca pikiranku.

“Ka’Hia sendiri gimana? Bukannya selalu menyerang Tuhan karena banyak hal yang sudah terjadi?”

“Semua ucapanmu tadi Cuma cerita masa lalu” ka’Hia.

“Lantas?”

“Tuhan selalu adil, tidak pernah salah, bisa menjadi sahabat, dan paling penting selalu ingin mendekapmu” ka’Hia.

Apa ucapan ka’Hia bisa dipercaya? Apa Tuhan bisa menjadi sahabat? Apa DIA bisa membalut ruang hati yang penuh sayatan hingga sulit untuk dijelaskan bagaimana bentuknya saat ini? Bagaimana kalau ucapannya bohong?

“Belajarlah menyebut nama Tuhan di hatimu?” ka’Hia.

Seorang Kaska harus belajar menyebut nama Tuhan? Hidup ka’Hia memang mengalami perubahan drastis. Apa saya juga bisa? Ka’Hia jauh lebih menakutkan dibanding hidupku, tetapi sekarang terjadi pertukaran cerita.

“Tuhan Yesus, ajar saya untuk percaya kalau ternyata dekapanMU dapat menghancurkan ribuan sayatan luka di dalam sana” entah kenapa suara hati berkata-kata begitu saja.

Tiba-tiba saja air mataku terjatuh seketika. Dalam sel penjara saya seperti orang bodoh menangis di tengah kesunyian malam. Kenapa saya bisa berujar seperti itu? Kenapa bulir-bulir kristal jatuh begitu saja? Kalau boleh dikatakan, saya seorang yang sejak dulu tidak pernah bisa menjatuhkan air mata. Namun, entah mengapa benda itu keluar begitu saja.

“Tuhan, apa dugaanku ternyata salah tentangMU?” pertanyaan buatNYA.

Saya ingin bukti kalau Tuhan itu memang adil dan tidak pernah jahat terhadap hidupku dan ketiga kakakku. Tuhan, sembuhkan luka hatiku. Saya ingin mengerti defenisi rumah.

Tuhan, bisakah diriMU memulihkan rumahku yang sudah hancur berkeping-keping? Menangis menjadi gambaran diriku sekarang ini. Seseorang yang tidak pernah bisa menangis, tiba-tiba saja menjadi anak cengeng?

“Apa kau sudah menemukan mimpimu?” pertanyaan ibu tidak kukenal ke arahku. Ternyata dia memang kembali berkunjung setelah 3 hari.

“Saya benar-benar tidak mempunyai mimpi dan tujuan hidup” jawaban buatnya.

“Kau masih memiliki kesempatan” dia masih terus menekan tentang sebuah objek.

“Kenapa anda peduli denganku? Anak juga bukan?” melemparkan pertanyaan.

“Setidaknya kau peduli dengan kakakmu sekali saja” ucapan sang ibu.

“Anda sebenarnya siapa? Ibuku juga bukan” kalimatku lagi.

“Ibu dari gadis yang kau tabrak” penekanan kalimatnya.

Bagai tersiram air panas mendengar kalimat tadi. “Kalau ingin memukul, mencaci, mengutuk, atau sekalian mengganti kaki anakmu, silahkan!”

“Apa di otakmu hanya bercerita kalimat-kalimat bodoh seperti yang kau ucapkan tadi?” ujarnya.

Seharusnya dia berteriak ke arahku, akan tetapi apa yang dia lakukan? “Kenapa?” pertanyaanku untuknya.

“Entahlah” jawabannya.

“Jawaban bodoh” balasku.

“Kalau boleh jujur, saya ingin berteriak memaki, mengutuk, bahkan meminta hukuman sejadi-jadinya, hanya saja sesuatu menahan dua kakiku” ucapan sang ibu.

“Jawaban bodoh” balik membalas ucapannya.

“Kakakmu tanpa rasa bosan terus saja berjalan ke arah putriku satu-satunya hanya untuk meminta maaf” ujar sang ibu.

“Adiknya yang berbuat, kenapa dia yang harus meminta maaf?” ujarku.

“Pertanyaanku juga sama sepertimu, apa di otakmu tidak terlintas rasa bersalah sedikitpun?” menatap serius ke arahku.

“Dua kakinya lumpuh total, jadi, wajar saja kalau putriku melempar caci maki atau berteriak atau melempar barang apa saja ke tubuh kakakmu” kalimatnya lagi.

“Kenapa?”

“Pertemuan kalian kemarin antara adik dan kakak tanpa sengaja dilihat olehku, hingga membuatku ingin bertanya apa kau punya mimpi?” ucapan sang ibu.

“Ibu sama saja dengan kakakku bukannya memaki, mengutuk, menampar, atau apalah biar kalian puas, malahan menciptakan pernyataan aneh” jawaban buatnya.

“Jangan sia-siakan pengorbanan kakakmu” ujarnya.

Bagaimana saya akan berjalan? Kenapa mereka berdua tidak membunuhku sekalian biar masalah selesai? Apa saya harus tertawa mendengar ini? “Ka’Hia tidak bersalah biar saya yang menanggung semuanya. Jadi, katakan pada putri anda, jangan melempar caci maki ke arahnya!” ungkapku.

“Sepertinya ucapanmu barusan sudah terlambat” nada ucapannya sedikit menekan. Apa yang dilakukan ka’Hia? Kenapa dia melakukan hal gila?

 

 

Bagian 11...

 

HIA...

 

“Pergi!” teriak Leza si’gadis lumpuh melemparkan benda apa saja di tanganya.

“Apa kau bisa mengembalikan kakiku?” Leza untuk kesekian kalinya berteriak memaki tiap saya berjalan ke hadapannya.

Memberinya kotak kecil berisi cokelat terlihat kekanakan, tetapi itulah yang sedang kulakukan. Meminta maaf tanpa rasa bosan memang bukan jalan keluar, hanya saja saya ingin meringankan sedikit hukuman adikku. Andaikan bisa, setidaknya biarkan saya menjadi pengganti Kaska menjalani hukuman jeruji penjara. Tapi, bagaimana caranya?

Adikku kehilangan figur ayah dan ibu, sedang ketiga kakaknya seolah tidak pernah peduli suasana hatinya seperti apa. Kami bertiga begitu egois bahkan merasa paling menderita tanpa memperdulikan ruang hati si’bungsu. Saya ingin menebus sesuatu yang hilang dalam diri seorang Kaska.

“Sepertinya permen bisa sedikit membuatmu lupa tentang masalahmu” mencoba memberikan beberapa bungkus permen buat gadis tersebut.

“Segampang itu?” tatapan sinisnya.

“Apa kau tahu mimpiku? Apa kau sadar kalau saya harus berpisah dari ibu hanya untuk membuktikan sesuatu? Dan sekarang?” Leza terus saja berteriak ke arahku tiap berada di depannya.

“Maaf” hanya kata seperti ini saja yang bisa keluar sambil menundukkan kepala.

“Apa kau bisa menjadi pengganti dua kakiku?” Leza melempar apa pun di sekitarnya ke tubuhku seolah ingin melampiaskan emosional.

Dia wajar melakukan hal seperti itu. Hatinya sedang sakit hingga ingin meluapkan segalanya ke permukaan. Tinggal di rumah bersama ibunya dan hidupnya hanya bercerita tentang air mata. Impiannya menjadi seorang pengacara hilang ditelan bumi.

“Saya tidak mengenalmu, tapi kenapa kau dan adikmu menghancurkan masa depanku?” tangisan Leza.

“Adikku Cuma korban, jadi, kalau mau memaki lemparkan ke saya saja” ujarku.

“Pergi!” teriakan gadis tersebut bergema. Halaman teras rumahnya menjadi saksi tiap luapan amarahnya ke arahku.

Apa saya akan berhenti? Menyerah? Sepertinya dua kakiku tidak ingin berhenti berdiri di depannya. Mengekor seperti manusia bodoh kemanapun dia pergi. Berjalan keluar memakai kursi roda hanya untuk melupakan kisahnya kemarin.

“Hati-hati” berusaha menolong ketika kursi rodanya hampir saja tergelincir di jalan.

“Saya tidak butuh belas kasihanmu” Leza.

Saya hanya diam, kemudian mencoba berjalan perlahan, namun sekali-sekali berbalik ke arahnya.

“Apa lihat-lihat?” cetus Leza.

“Ga lihat apa-apa” jawabku.

Terkadang dia menangis sejadi-jadinya pada malam hari di sebuah taman tidak jauh dari rumah. Semangat hidup seorang Leza hilang ditelan bumi. “Dia hanya masih shock saja” ibu Kasih menyadari keberadaanku.

“Maaf” ucapku.

“Kenapa harus minta maaf? Pelaku penabrakan bukan dirimu” ibu Kasih.

“Kenapa anda tidak pernah berteriak memaki ke arahku?”

“Cukup putriku saja menjadi perwakilan luapan emosional, setidaknya saya harus belajar mengendalikan diri” ibu Kasih.

“Di sisi lain, anda mengajar saya tentang hidup, namun, di sisi lain pula saya menghancurkan harta tarbaik yang anda miliki” ucapanku.

“Apa kau masih mau mewujudkan impianku?” ibu Kasih seolah tidak ingin melihat kesalahanku.

“Impian?”

“Apa kau sudah melupakan ingin menjadi hamba Tuhan?” ibu Kasih.

“Entahlah” ujarku.

“Salah satu cerita hidup sekaligus tantangan bagi seorang hamba Tuhan adalah mengembalikan semangat hidup seseorang yang sedang hilang harapan” ibu Kasih.

“Maksud anda?”

“Petualanganmu sekarang adalah mengembalikan Leza seperti kehidupannya yang dulu” ibu Kasih.

“Mustahil” kepalaku tertunduk lemas.

“Apa yang tidak mungkin bagi manusia, tetapi mungkin bagi Tuhan. Kau hanya belum mencoba” ibu Kasih.

“Kenapa harus saya? Kenyataannya saya kakak dari pelaku penabrakan anak anda?”

“Katanya ingin bertanggung jawab, lantas sekarang berubah pikiran?” ibu Kasih.

“Maksudku, saya ingin menggantikan adikku tinggal di penjara” balasan kalimatnya.

“Kau sama seperti adikmu, selalu terlihat aneh bahkan mengesalkan” ibu Kasih.

Apa maksud ucapan dari kata tadi? Apa dia mengunjungi adikku di penjara? Ibu Kasih benar-benar mengunjungi adikku di penjara beberapa waktu lalu. “Andaikan, kau sukses mengembalikan hidup Leza, kemungkinan besar adikmu tidak akan lama mendekam dalam tahanan jeruji besi” ibu Kasih.

“Pilihan berada di tanganmu” ibu Kasih.

Apa adikku akan bebas? Sesuatu yang tidak kuduga menjadi tantangan hidupku? Apa saya akan berhasil? Bagaimana caranya mengembalikan Leza pada kehidupannya kemarin?

“Saya harus bisa” membayangkan wajah Kaska di dalam penjara.

Memberanikan diri mengambil sikap terhadap gadis lumpuh itu. “Apa hidupmu sudah berakhir kalau dua kakimu hilang?” berteriak balik memaki tiba-tiba ke arahnya.

Seharusnya saya yang dimaki oleh gadis lumpuh tersebut, hanya saja semua itu terpaksa kulakukan. “Kau berani?” Leza berteriak.

“Demi kebaikan bersama, saya harus berani” berujar cukup menekan.

Seperti biasa dia akan melawan atau berteriak memaki, akan tetapi saya akan balik melawan bahkan tetap bertahan apa pun yang terjadi. Hingga suatu ketika, dia hampir saja melenyapkan nyawanya sendiri. Sengaja membiarkan dirinya berada di sebuah jalan hanya untuk menabrakan diri.

“Apa kau bosan hidup?” berteriak memaki setelah berhasil mendorong kursi roda miliknya.

“Kenapa? Setidaknya mati jalan satu-satunya buatku” Leza.

Entah kenapa, tanpa sadar tanganku sedikit menamparnya seketika. “Kau berani?” tangisannya terdengar kacau.

Dia benar-benar depresi dan kehilangan harapan hidup. Luka dalam ruang sana memang terbaca cukup jelas pada raut wajahnya. Hal tergila yang pernah kulakukan...

“Apa kau tidak pernah kasihan melihat ibumu?” melempar pertanyaan.

“Sedikit saja, kau belajar untuk tidak bersikap egois” ujarku lagi.

Dia hanya terdiam seperti patung. Kami berdua sedang berada di bawah pohon besar jauh dari pinggir jalan tadi. Saya memang sengaja mendorong kursi roda miliknya jauh dari jalan. Bayangan Kaska terus saja bermuara di tempatnya membuatku ingin tetap berjuang.

“Saya tahu kalau penyebab kakimu lumpuh adalah kesalahanku dan adikku, hanya saja sedikit saja kau jangan berjalan dengan keegoisanmu seorang diri” berkata-kata di hadapannya.

“Hidupmu sekarang terlihat jauh lebih menakutkan dibanding kehidupan kami berdua” sekali lagi menatap serius dirinya.

Apa yang salah dengan ucapanku? Mengantarnya pulang ke rumah setelah percakapan kami tadi. Sepanjang jalan tidak satupun berucap. Diam membisu merupakan judul cerita menuju rumah.

Tubuhnya demam setelah berada di rumah. “Biarkan saya yang merawatnya” kalimatku terhadap ibu Kasih.

“Beri saya kesempatan” entah kenapa pernyataan bodoh seperti itu keluar begitu saja.

Ibu Kasih diam dan membiarkan saya menjalani sebuah petualangan. Terus berjaga di samping gadis lumpuh itu sambil mengompresnya memakai air hangat. “Tuhan, sembuhkan luka sayatan di dalam ruang sana” berdoa buatnya.

“Kembalikan hidupnya seperti semula, jadilah dokter terbaik buatnya” lanjutan isi doaku...

Terus berjaga semalaman hingga tertidur lelap di sampingnya. Sinar matahari pagi membuatku terbangun seketika. “Kau sudah bangun?” pertanyaan buatnya setelah melihat dia duduk manis di tempat tidur.

“Apa kau bisa membuat bubur?” pertama kalinya dia bersikap sedikit manis, tapi masih terlihat jutek-jutek berhadiah.

“Tentu saja bisa” jawabanku segera berlari menuju dapur.

Sepertinya saya harus menonton video masakan di youtube kalau begini ceritanya. Tiba-tiba saja, saya mengingat nenek di rumah. Segera mengambil handphone milikku untuk menghubunginya. “Hia, baik-baik sajakan?” suara nenek berusaha menahan dirinya umtuk tidak menangis.

“Maaf, selalu membuat nenek menangis karena perbuatan Hia” ujarku.

“Kapan Hia balik ke rumah? Kakek selalu saja menatap photo Hia” nenek.

“Hia pasti balik, tapi kakek dan nenek harus memeluk kuat Hia” kalimatku.

“Tentu saja” nenek.

“Apa nenek bisa memberitahu saya cara membuat bubur?”

“Hia sudah banyak berubah” nenek.

“Tolong beritahu Hia cara membuat bubur!” berusaha mengalihkan perhatian.

Nenek memberi petunjuk pembuatan bubur. Saya seperti orang bodoh sedang berjuang hanya untuk menciptakan satu mahakarya? Setidaknya petualangan membuat bubur terdengar cukup seru kalau dipikir-pikir lagi.

“Beri dia kesempatan untuk membuktikan sesuatu buat Leza!” tanpa sengaja saya mendengar dialog antara ibu dan anak.

“Rasul Paulus saja manusia paling bengis diberi Tuhan kesempatan, bagaimana dengan dirinya?” ibu Kasih.

“Kaki Leza bisa saja lumpuh, tapi hati putri ibu satu-satunya jangan lumpuh” ibu Kasih.

“Apa semudah itu memaafkan?” Leza.

“Tidak mudah memang, hanya saja jangan hidup bersama akar pahit karena objek seperti itu akan semakin menghancurkan masa depanmu sendiri” ibu Kasih.

“Apa saya harus memaafkan adiknya juga?” Leza.

“Menurutmu?” ibu Kasih.

“Leza hilang harapan” Leza.

“Mereka berdua tidak bermaksud jahat, bahkan hidupnya jauh lebih menyakitkan dibanding hidupmu sekarang” ibu Kasih.

“Apa Leza bisa bertahan hidup?” Leza.

“Hidup Leza belum berakhir tanpa dua kaki” ibu Kasih.

“Jangan jadi penguping, masuklah!” teriak Leza menyadari keberadaanku.

“Saya tidak menguping, kebetulan ingin mengantar bubur” berusaha menyangkal.

“Buburnya mana?” bahasa judes Leza.

Apa Tuhan sudah mengembalikan hidupnya seperti dulu? “Bawah kemari!” perintahnya.

“Apa perlu saya suap?” spontan bertanya.

“Tapi, tidak berarti saya sudah memaafkan begitu saja” Leza.

“Tidak apa-apa” jawaban sedikit polos.

Dia menghabiskan semangkuk bubur pemberianku. Tuhan, apa ini talenta tersembunyi yang diberikan buatku? Resep nenek sedikit menyelamatkan hidupku hari ini. Mengembalikan kehidupan normal gadis lumpuh merupakan tantangan buatku saat ini.

Mendorong kursi rodanya tiap pagi hanya untuk menikmati matahari terbit. Mengajaknya ke taman bermain hanya untuk mencoba mengembalikan senyumnya. Memancing ikan di sekitar danau merupakan rutinitas yang harus kulakukan bersama dengannya. “Dapat” berteriak keras...

“Lumayan buat makan malam” ucapan terhadapnya.

“Cukup besar” ucapannya sedikit demi sedikit mulai membaik.

“Apa Leza tidak ingin terapi?”

“Lantas?” bahasa judesnya kembali keluar.

“Saya percaya Leza pasti bisa berjalan  seperti dulu” ucapan buatnya.

“Memang bisa?” Leza.

“Leza, harus tiap saat berdoa ma Tuhan seperti ini...” mencoba sedikit mempraktekkan di depannya.

“Terima kasih Tuhan, karena Leza sudah bisa berjalan dan akan tetap menjadi seorang pengacara terbaik. Amin” kata-kata buatnya.

“Memang harus?” Leza.

“Leza masih muda, jangan karena dua kaki lumpuh terus semua sirna ditelan bumi”...

“Apa kau punya mimpi sepertiku?” pertanyaan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu.

“Mimpiku tentu saja ada” jawabku.

“Apa?” Leza.

“Menjadi seorang pendeta” sebuah pernyataan dari Hiasber.

“Pantas saja ibu terus saja menyukaimu, sampai melupakan putrinya sendiri” cibir Leza.

“Saya berhutang budi terhadap ibumu, tapi bukan karena hal tadi hingga impianku hanya bercerita perpendetaan juga keles” ucapan buatnya.

“Kalau saya mengeluarkan adikmu dari penjara dan tidak memperpanjang masalah, imbalannya apa?” Leza.

“Apa pun itu, akan saya lakukan”...

“Berarti kau mengekor seperti ini di belakangku karena adikmu?” Leza.

“Tidak juga, sebenarnya lebih pada sebuah tantangan seorang calon hamba Tuhan yaitu mengembalikan kehidupan normal gadis yang sedang depresi berat” menjawab pertanyaan Leza.

“Sampai segitunya juga” Leza.

“Sudah sore, ayo pulang” segera mendorong kursi rodanya.

Dia belajar untuk tidak membenciku. Sesuatu hal yang rasanya mustahil untuk terjadi, tetapi inilah kenyataannya. Saya masih melakoni pekerjaanku hanya untuk menjadi seorang hamba Tuhan sejati. “Saya kehabisan uang” baru menyadari kondisi keuanganku.

Seorang calon hamba Tuhan pantang menjadi pengemis. Artinya saya harus belajar mencari uang dengan hasil keringat. Apa yang bisa kulakukan? Jalan keluar dari masalahku adalah menjadi kuli bangunan kasar. Saya ingin mendaftar kuliah theologia tahun ini pada salah satu kampus tidak jauh dari rumah.

“Hari ini adikmu bebas, artinya kau harus berperan sebagai pengganti dua kakiku yang lumpuh” chat masuk melalui salah satu aplikasi.

Kaska keluar dari penjara? Segera meninggalkan pekerjaanku, kemudian berjalan menuju sel tahanan. Saya hampir tidak percaya tentang bebas bersyarat adikku.

Bagian 12...

“Akhirnya kau bebas” Hia segera memeluk Kaska ketika berada di penjara.

“Apa ka’Hia menjual jiwa dan semuanya ma gadis lumpuh itu?” Kaska sedikit ketakutan.

“Ga perlu khawatir, gadis itu sangat baik” Hia.

“Biarkan Kaska tetap berada di penjara, dari pada ka’Hia menjual jiwa seperti itu terhadapnya” Kaska.

“Lupakan masalah menjual jiwa! Apa kau tidak ingin bertemu kakek dan nenek?” Hia.

Selama ini, dia belum memberanikan diri pulang ke rumah selama adiknya masih berada dalam sel tahanan. “Kalau kakek memaki Kaska gimana?” Kaska.

“Bilang saja, maaf” Hia segera mendorong tubuh adiknya menuju mobil.

“Kuharap ka’Luann dan ka’Hozhi juga pulang ke rumah” Hia mengirim pesan untuk kedua kakaknya.

Sepanjang jalan bayangan raut wajah kakek dan nenek bermuara di benak mereka berdua. “Maaf, kami berdua baru pulang ke rumah hari ini” Hia segera memeluk neneknya setelah berada di rumah.

Kenyataan hidup keluarga ini adalah sesuatu yang sulit dijabarkan satu sama lain. Hia tidak lagi menginjakkan kaki di rumah sejak pertengkaran hebat antara dia dan kakeknya. Bukan hanya Luann dengan sejuta masalah, melainkan dirinyapun terjebak di dalam sana.

Sejak kisah pertobatan mafia kelas kakap, dua kakinya baru saja menginjakkan kaki di rumah tersebut. Apa kakek dan nenek seolah tidak pernah peduli masalah yang sedang menimpa keempat cucu mereka? Jawabannya tidak sama sekali...

“Maaf selalu saja melukai perasaanmu” pernyataan Hia di kamar kakeknya. Keluarga Genoiv terlihat seperti rumah berhantu.

“Pertama kali seumur hidup Hiasber Genoiv merendahkan dirinya seperti sekarang?” kalimat sang kakek.

“Hia pasti lapar, ayo kita makan” nenek datang menarik tangan Hia dari kamar.

“Apa kakek tidak ingin makan bersama kami?” Hia segera berbalik kembali.

“Kalau kakek lapar pasti ke meja makan” gerutu nenek seolah tidak ingin ada pertengkaran kembali.

“Selamat datang kembali” teriak Hozhi segera memeluk Kaska adiknya.

“Kau akhirnya bebas” Luann tersenyum melihat kebebasan Kaska.

Pertama kalinya kata ego sepertinya hilang ditelan bumi. “Artis pembuat masalah, si’pelakor, napi, mafia kelas kakap lagi berkumpul di rumah ini” sindiran sang kakek di meja makan.

“Saya tidak pernah memberitahu kakek masalah ka’Luann menjadi pelakor” Hozhi berbisik ke telinga Luann.

“Pikirkan dirimu sendiri, jangan pikirkan orang lain” Luann.

“Masuk telinga kanan, terus keluar telingan kiri, habis masalah” jawaban cuek Hozhi sambil berbisik.

Luann sedikit terhibur mendengar ucapan adiknya. Mereka berempat berusaha menahan diri terhadap kakeknya yang sudah tua. “Kakek, kalau mau marah sebentar saja, mari kita nikmati makanan dulu baru balik marah-marah lagi” Kaska.

“Ikan bakar buatan nenek masih sama, tetap enak” Hia.

“Hia benar-benar berubah” rasa haru nenek terhadapnya.

“Buat kakek” Luann menaruh beberapa jenis sayuran ke piring pria tua itu.

Pertengkaran hebat antara cucu dan kakek memang sering terjadi. Keempat saudara itu berusaha membuang sisi emosional mereka masing-masing. Sang kakek belum menyadari kisah pertobatan beberapa cucunya. “Kaska ingin hidup seperti kakak” ucapan pertama Kaska ketika berada di kamar.

“Tapi, Kaska ga mau jadi pendeta” Kaska.

Tawa Hia meledak seketika sampai seluruh penghuni rumah sedikit penasaran. Diam-diam sang kakek mencoba menguping pembicaraan mereka berdua. “Kenapa ga kedengaran” rasa kesal sang kakek masih mencari celah diam-diam.

“Kaska ingin mengembangkan obat-obatan saja” Kaska.

“Terus?” Hia.

“Kaska ingin kuliah, tapi pakai uang sendiri bukan uang kakek” Kaska.

“Hanya itu? Apa kau tidak ingin mencari pelita kecil?” Hia.

“Kaska ingin belajar mengerti kalau Tuhan itu selalu baik, tidak pernah jahat, bersahabat, dan pastinya selalu berada di sini” Kaska memegang ruang hatinya di dalam sana.

“Akhirnya kau punya mimpi”Hia.

“Kakak sendiri gimana?” Kaska.

“Saya ingin kuliah theologia saja sambil kerja kuli bangunan” Hia.

“What?” Kaska.

“Seorang hamba Tuhan harus belajar merendahkan hati, jadi ya begitulah” Hia.

“What? Sampai segitunya” Kaska.

“Jangan keras-keras, nanti kakek dengar terus bertengkar lagi” Hia.

“Kakek memang aneh, jadi mafia salah, lantas sekarang mau disalahkan lagi?” Kaska.

“Impian kakek buat ka’Hia sangat tinggi, tapi dihancurkan begitu saja. Jadi, wajar saja kalau kakek benar-benar kecewa” Hia.

“Betul juga sih, kalau dipikir-pikir lagi, kehidupan cucunya ga ada satupun yamg benar, semua menyimpang” Kaska.

“Kemungkinan besar karena kita semua hidup dalam akar kebencian hingga berujung menjadi jurang terbesar” Hia.

“Maksud ucapan ka’Hia?” Kaska.

“Apa kau ada keinginan untuk melupakan masa lalu, maksudku memberi pintu maaf buat papa?” Hia.

“Sekalipun semua tidak bercerita, tapi saya tahu kalau Kaska tahu akar masalahnya” Hia.

“Kaska ingin mulai belajar mengejar mimpi, bukan memikirkan pria brengsek itu?” Kaska.

Hati sang kakek hancur mendengar percakapan mereka berdua. “Bagaimana bisa cucu-cucuku menyimpan sakitnya sendirian?” jerit hati sang kakek.

Pria tua memang selalu saja menanamkan akar kebencian terhadap menantunya. Ibu dari keempat cucunya mati secara mengerikan di tangan pria brengsek. Ingin mengajarkan kehidupan keras, namun tidak pernah disangka jika dirinya semakin menancapkan sayatan luka di dalam sana.

“Apa kakak akan terus bertahan dengan kehidupan sekarang?” pertanyaan Hia setelah memasuki kamar Luann tanpa permisi terlebih dahulu.

“Maksud ucapanmu?” Luann.

“Ka’Luann sendiri tahu dialog pembicaraan kita sedang berlari kemana” Hia menatap serius Luann.

“Masing-masing menjalani kehidupannya dan ga usah saling memperdulikan” Luann.

“Jangan hancurkan rumah kecil orang lain, hanya karena ingin mencari kehangatan keluarga!” Hia.

“Hia dulu dan sekarang terlihat berbeda” Luann.

“Ka’Luann masih memiliki kakek, nenek, ka’Hozhi, Hia, juga Kaska” Hia.

“Ka’Luann masih ingin menikmati kehidupan di jurang” Luann.

“Bagaimana kalau ka’Luann memxoba belajar berlari dari jurang tadi?” Hia.

“Sepertinya sulit” Luann.

“Cukup rumah kita saja yang hancur, tapi jangan rusak rumah orang lain” ucapan Hia, kemudian berjalan pergi meninggalkan kamar Luann.

“Sekali saja seorang Luann sedikit egois” dua bola matanya berkaca-kaca seketika.

Kisah cinta terlarang antara dirinya dan pria beristri menciptakan jerat perangkap lebih dalam sekitar jalan setapak. Tetesan madu itu terlihat manis ketika di mulut, namun ketika tubuh telah mencerna ternyata memberi perangkap paling menakutkan di sebuah jalan persimpangan. Dua kaki ingin mencoba untuk keluar, hanya saja ikatan belenggu jauh lebih kuat bermain.

 “Ucapan Hia ada betulnya” Hozhi menguping pembicaraan mereka berdua.

“Kau penguping kelas kakap” Luann.

“Kebetulan lewat saja” Hozhi.

“Apa saya benar-benar menakutkan?” Luann.

“Apa ka’Luann tidak capek dengan perangkap hidup semacam ingin memaksakan tinggal di rumah kecil milik orang lain?” Hozhi.

“Sepertinya ucapanmu tentang berenang-renang di tengah jurang selamanya tidak berlaku lagi buatmu dan Hia” Luann.

“Saya bosan menjalani hidup dengan perangkap mematikan, setidaknya apa salahnya mencoba berjalan keluar dari jurang” Hozhi.

“Saya perhatikan kau seperti menghilang dari dunia keartisan” Luann.

“Baru juga beberapa waktu sudah dibilang menghilang” Hozhi masih berusaha menyembunyikan pekerjaan terbarunya. Rasa gengsi untuk mengakui pekerjaan terbarunya membuat Hozhi terus saja bungkam.

“Raut wajahmu berkata ingin meninggalkan dunia keartisan” Luann.

“Perasaan ka’Luann saja. Btw, jangan mengalihkan pembicaraan” Hozhi.

“Tentang?” Luann.

“Mari kita mencoba belajar berlari keluar dari tengah jurang!” Hozhi.

“Apa pernyataanmu kemarin sudah tidak berlaku?” Luann.

“Ka’Luann sendiri selalu merasa sejenis monster menakutkan, padahal hidup kami jauh lebih menakutkan dibanding kakak. Bahasaku kemarin lupakan, tetapi bahasa hari ini renungkan!” Hozhi.

“Bagaimana kalau saya tidak bisa melepaskan dia?” Luann.

“Pasti bisa” Hozhi.

“Apa saya harus membiarkan anakku lahir tanpa ayah?” Luann.

“Ka’Luann” Hozhi terlihat shock.

“Kau sendiri terkejut, lantas bagaimana saya bisa lepas?” Luann.

Jauh di dasar hati seorang Luann, kata ingin lepas selalu saja bermuara. Dia hanya tidak tahu cara untuk melepaskan diri dari perangkap mematikan. “Tuhan, apa kau benar-benar ada?” pertama kalinya Luann menginginkan Tuhan dalam dirinya.

“Saya tidak ingin lagi menjadi sosok mnoster, bantu saya” menangis di dalam kamarnya seorang diri.

“Saya ingin lepas, tapi, dua kakiku sendiri tidak tahu cara melepaskan diri” Luann untuk pertama kali mengakui sesuatu hal di hadapan Sang Pencipta.

Menjalani hubungan terlarang membuatnya terjebak oleh banyak perangkap. Kehangatan yang tidak didapatnya dari leluarga, namun menariknya objek tadi didapat dari milik seseorang. Rumah kecil itu dihancurkan oleh tangannya sendiri.

“Siapa?” teriak Luann mendengar pintu kamarnya diketuk berulang kali pagi-pagi sekitar jam 06.00.

“Tunggu” Luann segera membuka pintu.

“Apa kau mau menemani kakek olahraga pagi-pagi begini?” pertama kali sang kakek mengajaknya olahraga pagi.

“Kenapa saya? Kenapa bukan artis dengan sejuta kasusnya atau narapidana atau mafia kelas kakap?” Luann sedikit terkejut.

“Entahlah” sang kakek.

“Jawaban bodoh” Luann.

“Kalau mau temani syukur, tapi kalau tidak ya syukur-syukur juga” bahasa ucapan sang kakek mulai berubah terhadapnya.

“Tunggu di luar!” Luann segera mengunci kembali pintu kamarnya.

“Kakek semalam makan apa?” gumam Luann sambil menggosok gigi.

“Perasaan semalam makanannya aman-aman saja” masih terus berpikir.

“Ga ada pertengkaran? Otakku yang tidak waras atau memang kakek saja yang tidak waras?” pertanyaan Luann.

Tanpa sadar, percakapan antara dirinya dan kedua adiknya didengar oleh sang kakek. Tuan Genoiv memang terus saja menguping dialog keempat cucunya. Tangisan Luann pun terdengar dibalik pintu kamarnya semalam. Sang kakek menyadari kesalahan terbesarnya ketika mendidik ataukah memberi perhatian terhadap keempat cucunya.

“Udara pagi hari memang sejuk” Luann berlari-lari kecil setelah mereka berdua meninggalkan rumah.

Mereka berdua berlari sepanjang jalan hingga mencapai sebuah taman. “Istirahat dulu” si’kakek mempersilahkan cucunya duduk di kursi panjang taman tersebut.

“Luann belum capek” Luann.

“Bayimu juga butuh istirahat” ucapan tadi membuat Luann terhenti seketika.

“Maksud ucapan anda?” Luann.

“Maaf untuk semuanya” pertama kalinya sang kakek memeluk kuat cucunya.

“Kenapa anda harus minta maaf?” Luann.

“Perbuatan kakek membuatmu tertekan, hatimu dengan banyaknya luka di dalam semakin tersayat hanya karena keegoisan seorang pria tua sepertiku” sang kakek.

“Amarah kakek terhadap ayahmu menjadi alasan untuk mendidik keras kehidupan kalian, tapi kenyataannya keempat cucuku berakhir di jurang” ucapan pria tua kembali.

“Bukan salah kakek” bulir kristal keluar begitu saja dari sepasang mata Luann.

“Mendidik keras tanpa mengandalkan Tuhan di dalamnya, termasuk menciptakan sebuah jurang kebencian antara kalian dan pria brengsek itu merupakan kesalahan terbesar dari pria tua” kalimat sang kakek.

 Tuan Genoiv seperti mencurahkan isi hatinya terhadap Luann. “Andaikan Luann butuh pelukan hangat, kuharap Luann berlari mencari kakek dan tidak lagi mencari sesuatu yang salah di luar sana” pria tua memeluk hangat Luann.

“Bagaimana dengan bayinya?” Luann.

“Apa Luann harus aborsi?” Luann.

“Jangan melakukan kesalahan kedua, biarkan dia lahir tanpa seorang ayah” pria tua.

“Kakek” Luann.

“Jangan merusak rumah kecil milik orang lain karena itu menyakitkan. Satu lagi, Luann tidak sendiri karena kakek akan selalu berada di sampingmu selamanya” pria tua.

“Apa Luann bisa?” Luann.

“Cucu kakek sudah dewasa, pasti bisa” pria tua.

“Beri kesempatan untuk pria tua sepertiku memperbaiki segalanya!” pria tua.

“Bagaimana kalau Luann gagal lepas darinya?” Luann.

“Cucu kakek pasti bisa, kakek ingin melihat kalian mencoba berlari keluar dari jurang menakutkan di luar sana” pria tua.

 

 

Bagian 13...

 

LUANN

 

Pernyataan mengejutkan keluar sendiri dari mulut kakek. Tiap bertemu dengannya hanya bercerita tentang pertengkaran semata, tetapi sekarang? Pria tua berusaha beradaptasi sekaligus menahan amarahnya terhadap keempat cucunya. Apa saya bisa lepas? Bayiku juga membutuhkan seorang ayah, lantas kenapa saya harus lepas?

 

FLASHBACK

 

“Luann Jora” seseorang menyebut namaku setelah saya sukses menjadi salah satu pramugari maskapai penerbangan.

Dia ganteng, memiliki kharisma, berwibawa, dan senyumnya menciptakan debaran jantung seketika. “Nametack anda terjatuh” tutur bahasanya terdengar biasa pada awalnya.

“Terima kasih” ucapanku.

Salah satu kapten pilot paling dikagumi karena kejeniusannya menghadapi badai di udara. Diam-diam, saya selalu menatap ke arahnya. Dia tidak pernah menyombongkan apa pun dalam dirinya terhadap objek manapun.

“Ibu, harus berusaha tenang” berhati hangat ketika seorang ibu terguncang mendengar pemberitaan suaminya dalam sebuah kecelakaan pesawat.

“Sabar” berusaha memeluk sang ibu tadi.

“Jangan patah semangat, kau pasti bisa!” memberi harapan terhadap salah satu pilot.

Hal yang tidak pernah terpikirkan olehku adalah menyukai dirinya. Dia selalu menolong rekan kerja kami ketika dalam kesusahan tanpa mengharap balasan. Gadis mana sih tidak terperangkap menatap ke arahnya?

Lebih mementingkan keselamatan penumpang, dibanding dirinya sendiri. “Kenapa kakek selalu mengajak Luann bertengkar?” berteriak melalui saluran telepon dan tanpa sadar didengar olehnya.

“Kakek tidak pernah tahu rasanya hidup menjadi sepertiku” terus memaki...

Pertengkaran antara diriku dan kakek memang sering terjadi hanya karena perkara sepele. Jujur, saya tidak pernah bisa melupakan bagaimana papa membunuh mama dengan begitu kejam. Tiap malam, saya selalu saja terbangun dari tidur karena mimpi buruk tadi.

Dasar wanita sialan” teriak papa terhadap mama sambil  memukul tanpa ampun...

“Mama” terbangun dari tidur.

“Kau tidak apa-apa?” ternyata dia berjaga di sampingku.

“Maaf, saya ketiduran” segera merapikan rambutku. Tertidur tanpa sadar di kantor membuatku terlihat memalukan.

“Jangan sering bertengkar dengan kakekmu apa pun masalahmu!” Nadav.

“Saya tidak sengaja mendengar pertengkaran kalian” Nadav.

“Memalukan” ujarku pelan.

Sejak saat itu, entah mengapa kami berdua mulai dekat. Saya tahu kalau dia pria beristri dengan anak dua. “Kau selalu tidak ingin mengerti keadaanku” saya mendengar seorang wanita memaki hebat dirinya tanpa sengaja.

Wanita itu terus memaki sekaligus mempersalahkan dirinya tentang banyak hal. “Dia sangat cantik” gumamku.

Saya sadar kalau wanita itu adalah istrinya, sedang anak kecil yang sedang digendong olehnya merupakan buah hati mereka. Gadis kecil menangis melihat petengkaran yang sedang terjadi. Dia beusaha menahan diri untuk tidak terpancing lebih dalam.

“Zia tidak mau lihat papi bertengkar” gadis kecil berusia 5 tahun seolah mengerti apa yang sedang terjadi.

“Gadis kecil papi jangan bersedih” dia memeluk putrinya.

“Btw, mari kita menjemput kakak Nitza dari sekolah” dia selalu menjadi ayah paling hangat untuk kedua anaknya.

Pertengkaran yang sering terjadi di antara suami istri, namun sosoknya sebagai ayah terbaik memang harus diacungi jempol. Saya semakin mengagumi dirinya diam-diam. “Apa kalian sering bertengkar?” melemparkan pertanyaan ketika kami berjalan menuju pesawat.

“Bertengkar?” Nadav.

“Saya sering melihat istrimu datang memaki ke arahmu” ujarku.

“Dalam kehidupan rumah tangga memang tidak akan luput dengan masalah-masalah pertengkaran” Nadav.

“Kenapa kau bertahan?”

...

“Kau tidak bisa menjawab” ujarku.

Dapat dikatakan kalau kami berdua semakin dekat antara satu sama lainnya. Dia biasa bercerita banyak hal hingga membuatku lupa akan masalahku sendiri. Begitupun sebaliknya, seolah dia melupakan pertengkaran yang sedang terjadi antara dia dan istrinya.

“Saya menyukai dirimu” sebuah pengakuan terhadapnya.

Dia terdiam seolah tidak ingin membalas ucapanku. “Kau tidak perlu membalasku, setidaknya saya puas mengungkapkan perasaanku sendiri” kalimatku kembali.

Saya yang memulai permainan jebakan itu, bukan dirinya. Dia masih berusaha mendirikan sebuah benteng pemisah di antara kami. Dua kakiku juga sedang belajar untuk tidak lagi berdiri di depannya.

Kami tidak lagi saling tegur sapa antara satu dengan lainnya. Entah mengapa, setahun kemudian dia menghadang jalanku. Menarik tanganku berjalan masuk ke mobil miliknya. Dia membawaku menuju sebuah tempat.

“Saya juga menyukaimu” memeluk kuat tubuhku aeketika.

“Istrimu?” pertanyaan untuknya.

Ungkapan perasaannya setahun setelah pernyataanku? Apa saya gila? “Kita berdua sama-sama terjebak, apa kau mau menanggungnya bersama denganku?” Nadav.

“Terjebak?”

“Terjebak dengan perasaan yang sebenarnya tidak boleh diluapkan dalam bentuk apa pun, tetapi perasaan itu sendiri makin kuat bertumbuh” Nadav.

Dia mengambil ciuman pertamaku. Memangnya saya tidak punya pacar selama ini? Lupakan! Kenapa saya bisa terjebak oleh perangkap milik orang lain? Sepertinya saya tidak akan pernah bisa lepas darinya.

“Saya yang menjebakmu, jadi, jangan pernah merasa bersalah” kalimat dari mulutnya tiap saya merasa bersalah terhadap keluarga kecilnya.

Kenyataan yang ada adalah ungkapan perasaan pertama kali dinyatakan olehku bukan dirinya. Dia selalu memberi kehangatan hingga membuatku lupa tentang masa lalu kelam ataukah pertengkaran antara diriku dan kakek.

 

FLASHBACK

 

Apa saya bisa lepas darinya setelah memory yang kami ciptakan satu dengan lainnya? Tuhan, apa yang harus kulakukan? Tidak pernah sekalipun dia melemparkan caci maki ke arahku atau menganggapku rendah.

Menang atau kalah? Pilihan ada di tanganku sendiri. Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Keputusan ada di tanganku sendiri.

Hal tergila lagi adalah dia sudah mengajukan surat cerai terhadap istrinya. Memberanikan diri bertemu istrinya seolah saya sedang berada di mulut singa. Dua tanganku seolah bergerak sendiri menekan nomor istrinya. Kenapa nomornya tersimpan manis di handphone milikku? Entahlah...

“Saya ingin bertemu denganmu” berucap melalui saluran telepon.

Entah mengapa, dua kakiku berjalan menuju rumahnya ketika Nadav sedang bekerja di luar kota. Saya sengaja mengambil cuti hingga kami berdua tidak bertemu beberapa waktu lamanya. “Jangan menutup pintu rumahmu buatku!” menahan dua tangannya.

Dia mengenalku sebagai simpanan suaminya. Kenapa bisa? Nadav berkata jujur tentang hubungan kami pada akhirnya. Kami berdua duduk di ruang tamu dan saling menatap satu dengan lainnya.

“Apa kau kemari untuk menertawakan keadaanku?” tangisnya pecah seketika.

“Bukan”

“Ingin mengejek?” ujarnya.

“Saya ingin mengembalikan dia buatmu seorang, jangan bercerai dan jangan menandatangani apa pun darinya!”...

“Maaf untuk semuanya. Jadilah istri bijak, tidak egois, tidak selalu menekan, tidak berteriak ke arahnya hanya karena masalah biasa!” pernyataanku kembali.

“Saya tidak ingin dia pergi” ucapannya di dalam isak tangis seolah tidak ingin suaminya berjalan keluar dari rumah.

“Pondasi rumah tangga ada padamu bukan di tangan siapa-siapa. Kau pasti bisa berjuang untuk memperbaiki semua yang sudah rusak” kata-kata itu keluar begitu saja.

Menang atau kalah? Tuhan, beri saya kekuatan untuk melepas sesuatu yang bukan milikku. Maaf, karena sudah menghancurkan rumah orang lain lebih dalam. Saya tidak ingin berenang-renang seperti biasa di tengah jurang. Dua kaki ingin belajar berlari dari ruang paling tergelap di sekitar alur ceritaku.

“Beri kesempatan buat dia memperbaiki semuanya! Begitupun sebaliknya dirimu, belajarlah untuk merendahkan hati terhadap banyak hal, dan gunakan lututmu untuk berdoa sebagai pondasi pertahanan rumah tanggamu!” kalimat tersebut sebagai akhir pertemuanku.

Saya berjalan pergi meninggalkan istrinya. “Jangan merusak rumah kecil milik orang lain karena itu menyakitkan. Satu lagi, Luann tidak sendiri karena kakek akan selalu berada di sampingmu selamanya” bayangan pernyataan kakek sejenis senjata buatku.

Jangan hancurkan rumah kecil orang lain, hanya karena ingin mencari kehangatan keluarga!” ucapan Hia pun bergema...

Ka’Luann masih memiliki kakek, nenek, ka’Hozhi, Hia, juga Kaska” kata-kata adikku memang benar.

Mari kita mencoba belajar berlari keluar dari tengah jurang!” bahasa Hozhi ingin mengajakku...

Tuhan, rasanya sakit seperti pedang yang sedang menusuk tajam sekitar jantungku. Menang atau kalah? Pertanyaan itu terus saja menggerogoti. Tuhan, untuk terakhir kalinya saya ingin bertemu dengannya. Sekali saja menjadi manusia egois...

“Saya ingin kau bersama denganku sehari penuh, jangan pulang ke rumahmu!” ucapan egois seorang Luann setelah kami bertemu.

“Hari ini kita kemana? Terserah” dia memeluk hangat diriku sambil tersenyum.

“Makan, berjalan ke pamtai, memancing, menikmati jajanan pinggir jalan, dan tertawa bersama” jawaban buatnya.

Dia tidak tahu kalau hari ini merupakan hari terakhir kami bersama. “Kau memiliki ayah yang hangat dan jangan menjadi pembenci ketika dirimu terlahir ke dunia” menjerit di dasar hati sambil memegang perutku.

“Apa kau sakit perut?” Nadav.

“Hanya sedikit ingin buang air saja” berusaha menyembunyikan sesuatu darinya.

Kami berdua berjalan seharian. Memory itu akan selalu terkenang sampai kapanpun.  Dia tertawa lepas sambil terus memelukku. “Mari kita akhiri semua disini!” ucapan yang pada akhirnya keluar begitu saja setelah sehari menikmati banyak hal bersama dengannya.

“Saya tidak mengerti ucapanmu” Nadav.

“Beri kesempatan buat dia kembali membentuk rumah kecil seperti dulu! Saya tidak ingin lagi merusak rumahmu” kata-kata menyakitkan, tapi harus kulakukan.

“Jangan bercerai! Jadilah ayah dan suami terbaik buatnya” kalimatmu.

“Luann” pertama kalinya suaranya meninggi seolah tidak ingin lepas.

“Saya tidak ingin menjadi monster lagi dan terus saja berenang-renang di tengah jurang”...

“Luann” Nadav semakin berteriak.

Dua kakiku berjalan pergi meninggalkan dia ditengah jalan. Berlari mengejarku hanya untuk menghentikan kegilaanku sedang terjadi. “Luann” teriak Nadav.

“Jangan ganggu kakakku lagi!” Hia tiba-tiba saja muncul ditengah kami.

“Rumahmu ada disana sedang menunggu, apa kau akan bersikap lebih jahat dari kemarin?” Hia melemparkan pernyataan hingga membuat dia melepas tanganku.

Hia memeluk kuat tubuhku setelah dia pergi. “Kalau ka’Luann ingin nangis, silahkan! Setidaknya, jangan menyimpan sakit kakak seorang diri!” Hia semakin memelukku.

Tangisku pecah seketika tanpa jedah iklan sama sekali. Sesuatu yang sulit dilepas, pada akhirnya dua tanganku harus bisa melepas. “Rasanya sakit, terlalu sakit” menangis sejadi-jadinya.

“Ka’Luann masih memiliki kami untuk bersandar” Hia semakin mendekapku.

Tuhan, buat saya bisa lupa apa pun tentang dia. Pada akhirnya saya tertidur pulas dalam mobil. Setelah terbangun dari tidur, ternyata tubuhku sudah berada di atas ranjangku sendiri. “Luann sudah bangun” nenek terus memegang tangan kananku.

Wajah nenek terlihat khawatir dengan keadaanku. “Hia menggendongmu kemarin” ujar kakek.

“Ka’Luann pasti bisa melewati semuanya” Kaska segera memeluk tubuhku.

“Makanlah!” Hia menyuap bubur ke mulutku.

“Ini untuk kedua kalinya Hia membuat bubur” Hia masih terus menyendok bubur itu ke mulutku.

“Sepertinya Hia sudah bisa membuka jajanan bubur di pinggir jalan dech, rasanya enak” ujarku.

“Berarti saya membayar kuliahku dari jualan bubur di pinggir jalan kalau begitu” Hia tanpa sadar bercerita.

“Kuliah?” kening nenek mengkerut.

“Lupakan! Asal bicara saja” Hia.

“Kakek tidak akan melarang mimpi Hia kuliah theologia” kakek.

“Saya tidak pernah memberitahu kakek” Kaska berani bersumpah.

“Kakek berusaha menguping pembicaraan kalian, ada yang salah?” kakek.

“Terima kasih” Hia segera memeluk kakek.

“Bubur ka’Luann bisa tumpah” cetus Hozhi.

“Hia banyak berubah sudah membuat kakek senang, setidaknya keempat cucuku tidak lagi bermain-main di tengah jurang” kakek.

Pemandangan di depan sedikit menghibur ruang di dalam sana. “Ka’Luann, habiskan buburnya” Hia.

Adikku dengan segala luka masa lalu terlihat berbeda. Kehangatan keluarga seolah menyembuhkan sayatan di ruang tersembunyi. Ketiga adikku seolah tidak pernah berpaling jauh. Terus saja berada di sampingku.

“Ka’Luann mimisan” Hozhi melihat banyak darah keluar.

Tiba-tiba saja semua menjadi gelap. “Ka’Luann” suara samar-samar masih sempat terdengar sekitar telingaku.

Pada akhir cerita, saya kembali terbangun di sebuah ranjang, tetapi bukan kamarku melainkan rumah sakit. Cairan infus terpasang sekitar salah satu tanganku. “Jangan membuat kami semua ketakutan” saya bisa melihat Hozhi menangis.

Dia sempat melakukan CPR terhadapku sambil memakai alat bantu. “Apa yang terjadi?” pertanyaan buatnya.

 

Bagian 14...

 

HOZHI

 

“Dokter Gi” seseorang perawat memanggil memanggil namaku.

Rahasiaku terbongkar pada akhirnya. Antara terkejut melihatku menangani ka’Luann dan ketakutan akan keadaannya. “Hozhi sekarang seorang dokter?” ka’Luann sedikit tertawa hampir tidak percaya.

Semua rumah sakit gempar seketika, ternyata dokter Gia seorang artus kontriversial. Apa mereka segera mengirim ke permedsosan tentang beritaku? “Bagaimana kondisi ka’Luann?” Hia berharap-harap cemas.

Bagaimana saya bisa memberitahu kenyataan sebenarnya? “Kau harus berkata jujur dan jangan menyembunyikan apa pun!” ucapan dokter Ra terngiang di telingaku.

Cukup sekali kau berbohong masalah pekerjaanmu” kenapa juga dia menyuruhku melakukan semua ini.

“Hozhi, jangan menyembunyikan sesuatu dari kami!” kakek menyadari sesuatu hal.

 “Diagnosa ka’Luann kanker ganas” saya duduk tersungkur di lantai rumah sakit agak jauh dari ruang ka’Luann mendapat perawatan.

“Ka’Luann harus menjalani kemo” terus saja menangis sesenggukan.

Hal tidak terpikirkan oleh kami sama sekali, hanya karena mimisan, lantas? Saya berkata apa terhadap kakakku sendiri? Ka’Luann pasti lebih memilih mepertahankan janin dalam kandungannya dibanding nyawa sendiri. “Katakan kalau semua ucapan Hozhi bohong?” hati kakek hancur seketika.

Masalahku sepertinya bertubi-tubi menyerang. Identitasku ketahuan oleh seluruh penghuni rumah sakit, dan kakakku sedang berjuang melawan penyakitnya sendiri. Hia pun sama sepertiku duduk tersumgkur di lantai. Diam seribu bahasa tanpa melempar pertanyaan.

“Dokter Gi” suster Jora memanggilku.

“Saya harus pergi, pasien lain sedang menungguku” berusaha untuk kuat.

Sebuah alasan demi mengendalikan sisi emosionalku semata. “Jangan sekali-sekali membocorkan identitas dokter Gia Genoiv!” ucapan sang direktur rumah sakit di aula.

Ternyata, tanpa sadar suster Jora membawaku masuk ke dalam aula pertemuan seluruh pegawai rumah sakit. “Ternyata Hozhi yang kukenal jauh berbeda dibanding aslinya” salah seorang dokter tersenyum ke arahku.

“Yang kami kenal di rumah sakit hanya dokter Gia Genoiv bukan Hozhi artis bermasalah”  sang direktur tersenyum ke arahku.

Tidak satupun dari mereka membuliku? Apa ini mimpi? Saya selalu menyembunyikan nama keluarga Genoiv hingga tidak seorangpun menyadari identitasku di dunia keartisan. Begitupun sebaliknya saudaraku selalu menutup rapat fam keluarga, hanya untuk menghindari kakek menjadi malu karena kelakuan cucunya.

“Dokter Gia harus semangat” ucapan serentak mereka. Satu per satu memelukku tanpa memberi tatapan menjijikkan.

“Apa kita berdua bisa berbicara?” sang direktur memegang pundakku.

“Tentu saja” menjawab pertanyaannya.

Berjalan masuk ke ruang direktur sedikit membuatku ketakutan. “Apa kau tidak pernah sadar siapa dibalik manusia yang sudah membuatmu terus berada di rumah sakit?” kalimat pertama sang direktur.

“Maksud anda?”

“Menurutmu?” sang direktur.

“Saya benar-benar tidak mengerti” ucapanku kembali.

“Saya paman dari artis yang sudah mengundurkan diri hingga semakin membuat namamu dihujat oleh orang banyak” sang direktur.

“Nevy”

“Dia mengeemis-ngemis memohon sesuatu terhadapku setelah saya memberitahu surat lamaran pekerjaanmu di rumah sakit ini” direktur rumah sakit menjelaskan sesuatu terhadapku.

Jadi, dia tidak benar-benar meninggalkan saya seorang diri? Kenapa dia melakukan semua ini? Menghilang ditelan bumi, menyatakan pengunduran diri, dan lain sebagainya?

Dia tahu kalau saya sedang sekolah spesialis di LN? Ternyata saya tidak bisa menyembunyikan apa pun darinya? Sahabat yang selalu ada ketika hidup mengalami banyak tekanan. Dia tidak pernah berubah sama sekali.

 

FLASHBACK

 

Sejak kecil, saya tidak memiliki teman sama sekali. Karena kasus pembunuhan terhadap mama dan pelakunya papa sendiri membuatku menjadi bulan-bulanan orang banyak. Saya selalu diam menyendiri di tengah keramaian.

Tidak seorangpun pernah peduli atas apa yang sedang terjadi. Rumahku rusak hingga menyatakan alur ceritaku hancur berkeping-keping. Siapa pernah peduli tentang ruang yang sedang tersayat habis-habisan. Tangisku selalu saja pecah. Ka’Luann seolah terlihat begitu kuat, jauh berbeda denganku.

Hingga suatu ketika, seseorang tersenyum hangat ke arahku. “Kau menangis?” tangannya berusaha menghapus butiran kristal sekitar wajahku. Berpindah-pindah sekolah merupakan hal biasa bagi sosok Hpzhi.

Senyuman hangat darinya membuatku ingin bertahan di sekolah baruku. Kehadiran Nevy seolah menghancurkan sayatan-sayatan menakutkan di dalam sana.  Dia tidak pernah melemparkan ucapan ke arahku. Sahabat terbaik ketika alur cerita Hozhi kembali berjalan hidup.

“Zhi, pasti bisa lupa memory menakutkan itu” Nevy sekali lagi memberi harapan tentang hidup.

“Zhi tidak bodoh, hanya harus berusaha sedikit lagi” ucapannya ketika melihat seluruh nilai sekolahku berada di bawah rata-rata bahkan hampir tinggal kelas.

Selain mama dan dirinya tidak seorangpun memanggilku dengan sebutan Zhi. “Bekal buat Zhi buatan ayah” Nevy berbagi makan siangnya denganku.

“Bagaimana kalau saya tinggal kelas?” pertanyaan untuknnya.

“Zhi tidak akan pernah tinggal kelas” Nevy si’pemberi semangat.

Bertahun-tahun lamanya saya sealalu saja bergantung sesuatu dari dirinya. “Saya ingin melihat Zhi memainkan pisau bedah suatu hari nanti” dia seolah tahu mimpiku sejak kecil.

“Apa saya bisa?”

“Pasti bisa” Nevy.

“Kenapa?”

“Karena Zhi memiliki IQ terpendam” Nevy.

Selalu saja berlari ke arahku tanpa rasa letih sama sekali. Hingga suatu ketika, kami berdua tiba-tiba saja terjun di dunia hiburan sebagai artis tanpa mimpi ataukah perencanaan sebelumnya. “Saya harap, kuliahmu tidak terganggu dan tetap berjalan seperti biasa” Nevy mempertegas ucapannya.

Kemungkinan karena ucapannya tadi membuatku terus melanjutkan kuliah diam-diam di belakangnya. Jurang itu benar-benar kuat menghantam hingga menyatakan sesuatu objek menakutkan sekitar alur ceritaku setelah kami berada di dunia keartisan. Entah kenapa, tiba-tiba saja dia menjadi playboy tingkat iblis setelah karirnya keartisannya melejit.

Hal yang terus saja terjadi adalah dia tetap berada di sampingku. “Berhenti menangis!” berusaha mendekap tubuhku setelah sesuatu hal terburuk terjadi. Salah satu tokoh dengan pengaruh uangnya menjebakku hingga memasukkan obat tidur dalam segelas minumanku di sebuah party. Saya tidak bisa bercerita terhadap siapapun apa yang sedang terjadi.

Masa depan Hozhi rusak seketika hanya karena sang tokoh tadi. Melarang Nevy bercerita masalahku tadi terhadap seluruh anggota keluargaku. “Karirmu pasti hancur kalau kau memukulnya” berusaha melarang Nevy melakukan sesuatu hal menakutkan.

Alur ceritaku menjadi semakin gelap hingga menyatakan objek dramatis. Si’artis pembuat masalah mulai melekat semenjak dua kaki berjalan cukup keras ke tengah jurang sejak kejadian tersebut. Nevy terus berada di puncak karir keartisannya, sezang Hozhi digambarkan sebagai sampah pembuat masalah yang terus saja mengekor.

 

FLASHBACK

 

“Apa saya baru saja bermimpi?” bergumam pelan setelah terbangun dari tidur.

“Apa ini?” sebuah kotak terbungkus rapi di atas meja kerjaku.

“Maksudnya apaan?” sedikit sinis setepah melihat isinya. Pisau bedah kecil bersama beberapa peralatan medis, dan selembar surat di dalamnya.

 

Dear Zhi...

Kalau Zhi sudah membaca surat ini artinya sahabat terbaikmu tidak lagi menginjakkan dua kakinya di sampingmu. Apa Zhi sadar kalau saya sepertinya sedang melanggar perjanjian persahabatan di antara kita berdua? Entah sejak kapan perasaan suka buat Zhi muncul begitu saja. Ternyata jadi cowok playboy bukan jalan keluar masalah, malah semakin menimbulkan masalah lain. Beruntung saja anak oramg ga ada yang hamil karena keusilanku.

Sekali lagi maaf karena membuat dirimu menjadi bulan-bulanan netisen tiap detik tanpa jedah iklan. Maaf untuk perasaan yamg muncul begitu saja hingga melanggar kontrak perjanjian persahabatam antara saya dan Zhi. Saya akan berjalan kembali ke arahmu setelah perasaan tadi hilang lenyap ditelan bumi. Sepertinya dokter ganteng itu maksudku dr. Ra menyukai dirimu, apa salahnya membangun sebuah perasaan kalau Zhi memang menyukai dirinya.

Untuk sekarang ini, saya ingin menjalani sebuah petualangan baru di salah satu belahan dunia. Sekali lagi maaf, tidak bisa terus berada di samping Zhi ketika ka’Luann sedang sakit. Semoga ka’Luann cepat sembuh. Maaf atas semua yang sudah terjadi hingga Zhi selalu saja dibuly oleh orang banyak. Terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik.  

NEVY

 

“Pernyataan bodoh” tangisku pecah seketika. Apa ini alasan sampai dia benar-benar meninggalkan total dunia keartisan? Segera berjalan keluar mencari sang direktur...

“Dia kemana?” tanpa mengetuk terlebih dahulu ruangan sang direktur. Beberapa tamunya mengalihkan perhatian mereka seketika ke arahku. Sang direktur memberi isyarat agar mereka semua kuluar.

“Apa kau sudah menonton berita selebritas hari ini di semua medsos?” sang direktur.

“Berita?”

“Tenangkan dirimu dulu!” sang direktur segera menyalakan TV di ruangannya.

“Sejak kecil, dia sudah menderita bahkan selalu menangis karena hidup tidak pernah adil untuknya. Rumah yang dikatakan kehidupan bagi seorang anak, ternyata hanya neraka. Kehidupan tanpa kehangatan ayah maupun ibu membuat dia terus saja tersayat” Nevy berbicara di hadapan seluruh media.

“Kata buly selalu saja menjadi senjata paling mematikan hingga menyayat ruang hati. Hal lebih buruk lagi, dikarenakan salah satu tokoh dengan pengaruh kuat karena uangnya memperkosa dan merusak masa depannya. Apa ini yang dikatakan hidup?” Nevy.

“Karena banyaknya sayatan luka dalam dirinya hingga berujung menjadikan dia sebagai salah satu public figur paling menakutkan. Para netisen semau gue melemparkan caci maki, kutuk, buli, dan segala hal jelek buatnya. Apa kalian Tuhan?” Nevy.

Saya tidak pernah menyangka dia melakukan semua ini buatku. Selalu saja, sosok Nevy terus berdiri di sampingku hingga membuatku bergantung total. Kenapa dia melakukan semua hal bodoh?

“Saya yang mengekor di belakangnya, bukan dia yang mengekor di belakangku. Jadi, jangan melemparkan asumsi aneh-aneh” Nevy.

“Saya yang menyukai dirinya, bukan sebaliknya dia berlari dan mengejar diriku. Jadi, jangan berpikir kalau dia hanyalah nenek lampir dengan peran orang ketiga!” Nevy.

“Justru perjanjian diantara kami sejak kecil adalah tidak saling menyukai apa pun yang terjadi. Dan entah sejak kapan, saya melanggar perjanjian itu” Nevy.

Apa ini pernyataan perasaan? Sejauh ini, saya tidak pernah berpikir kalau Nevy bisa menyimpan perasaan khusus. Bagaimanapun persahabatan yang sudah terjalin lama membuatku lupa akan banyak hal yang sudah terjadi.

“Tidak selamanya popularitas tinggi memberi kebahagiaan terhadap seseorang termasuk hidupku sendiri. Seperti ada sesuatu yang hilang, hambar, kosong hingga membuat diriku ingin berhenti dari dunia keartisan. Dan semua itu bukan karena diarinya. Tidak ada yang salah dengan kehidupan artis bersama popularitasnya, hanya saja saya merasa alur ceritaku sepertinya tidak ditakdirkan lagi di dunia keartisan” Nevy.

“Dia marah besar, kenapa saya mengambil keputusan mendadak seperti itu. Berteriak memaki sama seperti kalian juga dilakukan olehnya. Jadi, jangan melemparkan pernyataan kalau dia penyebab Nevy berhenti total dari panggung hiburan ketika karirnya sedang berada di puncak! Keputusan bodoh bahkan kelewat bodoh, tapi entah kenapa dua kakiku tetap ingin berlari kuat untuk keluar dari sana” Nevy.

Kupikir dia tidak lagi peduli dengan semua keadaanku. “Sekarang dia dimana?” pertanyaan yang sama.

“Apa yang kau lihat di tv tadi jauh-jauh hari sudah direkam dan dipersiapkan oleh Nevy sendiri” sang direktur.

“Maksud ucapan anda?”

“Sehari sebelum rekaman video tersebar luas, dia sudah pergi” ucapan direktur.

“Kenapa anda menyembunyikan semuanya dari saya?” berteriak keras.

“Apa akan menyelesaikan masalah? Lagian Nevy berusaha menutup rapat” direktur.

Saya seperti manusia bodoh bahkan tidak tahu harus berkata apa. Berjalan keluar dengan tubuh lemas tanpa tenaga sama sekali. “Ka’Hozhi” tiba-tiba saja Hia hadir dan langsung mendekap tubuhku.

“Kenapa kakak menyembunyikan semuanya sendirian?” Hia terus mendekapku di lorong rumah sakit...

“Kenapa Hia disini? Lantas ka’Luann?” tersadar sesuatu.

“Masih sempat-sempatnya memikirkan orang lain, sedang diri sendiri hancur berkeping-keping” suara ka’Luann menggelegar di telingaku.

“Maaf selalu menjadi kakak yang buruk dan tidak pernah menjadi sahabat buatmu” ka’Luann.

“Ka’Luann istirahat di kamar, lebih dari cukup buatku dan jangan berpikir tentang masalahku? Semua itu hanya masa lalu” berusaha mengalihkan perhatiannya.

Mimpi apa saya semalam? Apa ka’Luann sudah diberitahu penyakitnya? Saya harus berhadapan dengan beberapa masalah sekaligus? Hidup masih harus berjalan. Bukankah saya harus belajar untuk tidak bergantung lagi terhadap Nevy? Kenapa rasanya sakit pakai banget?

“Lupakan masalahku! Ka’Luann harus kembali ke kamar” segera menarik tangan ka’Luann.

“Apa kau memang tudak pernah ingin berbagi kesedihan denganku?” ka’Luann.

“Kesehatan ka’Luann lebih penting dibanding masalahku”...

“Kalau sudah waktunya mati ya apa boleh buat, kakak sudah siap, ngerti?” ka’Luann berteriak di lorong rumah sakit.

“Ka’Luann sudah tahu?” Hia.

“Diam-diam saya menguping pembicaraan kalian” ka’Luann.

“Ka’Luann” tubuhku segera bersandar lemas pada tembok lorong rumah sakit.

Ruang tersembunyi di dalam sana semakin tersayat. Tuhan, dihadapanMU saya ingin berteriak sekeras mungkin dengan hati yang begitu hancur. Balut luka yang sedang mengalir begitu menakutkan di sekitar alur ceritaku. Apa yang harus kulakukan?

“Setidaknya kakak ingin belajar menjadi sahabat buat Hozhi di sisa hidupku, apa itu salah?” ka’Luann.

“Tidak ada yang salah” balasku.

Lorong rumah sakit menjadi saksi bisu ketika kami bertiga larut dalam isak tangis. Tuhan, ruang hati kami saat ini benar-benar rapuh bahkan sangat hancur. Hal lebih menyakitkan lagi adalah ka’Luann lebih memilih mempertahankan kehamilannya, dibanding menjalani kemoterapi.

“Apa kau tidak mau berkeliling menikmati pemandangan di desa bersama denganku?” ka’Luann.

“Selalu saja berpura-pura sehat” cibirku.

“Dari pada situ berpura-pura kuat” ka’Luann balik menyindir.

“Entahlah” balasku sambil menatap ke langit.

Kami berdua berada di taman rumah sakit sambil menikmati kelap kelip bintang di atas sana. “Bagaimana perasaanmu sekarang?” ka’Luann.

“Tentang?”

“Perasaanmu ma si’Nevy itu, gimana sih” ka’Luann.

“Harus dijawab yah?”

“Haruslah” ka’Luann.

“Kaget, tidak percaya, mau pingsan, dan rasa nano-nano tingkat dewa di dalamnya berbaur menjadi satu” jawaban histeris seolah meluapkan kekesalan.

“Sepertinya kau memang ada rasa, Cuma ga sadar saja” ka’Luann.

“Lupakan! Dia masa lalu” bernada kesal atas berita dia pergi begitu saja dengan hal-hal tidak masuk akal, tetapi sangat menyakitkan.

“Seandainya Tuhan tudak mengizinkan kakak tidak melihat si’kecil tumbuh besar, tolong rawat dirinya!” ka’Luann.

“Si’kecil?” seolah berpura-pura tidak tahu.

“Saya ingin Hozhi dan si’Nevy itu merawat anakku nantinya” ka’Luann.

“Ka’Luann pasti berumur panjang, lagian manusia satu itu sudah pergi ke laut dan ga mungkin kembali” ujarku.

“Siapa tahu saja dia kembali, terus si’Hozhi tiba-tiba balik menyukai dirinya” ka’Luann tertawa seakan melupakan penyakitnya.

 

 

Bagian 15...

 

Percakapan adik kakak sedang terjadi. “Kenapa ka’Luann lebih memilih mempertahankan janin itu, dibanding diri kakak sendiri?” Hozhi

“Cukup sekali kakak melakukan kesalahan, setidaknya sosok sepertiku tidak ingin mengulang kesalahan kedua” Luann.

“Lagian naluri keibuanku jauh lebih kuat berteriak” Luann menarik napas panjang.

“Ka’Luann sekarang sangat jauh berbeda dengan dirinya yang kemarin” Hozhi.

Luann hanya ingin mempertahankan harta terbaik dalam dirinya. Ketika dua bola mata mencoba mencari sisi lain dari sebuah kisah, kedua kakipun tanpa sadar sedang berjalan di sebuah lingkaran mengejutkan. Mutiara itu sepertinya tidak terlihat oleh kasat mata, sedang ruang hati sedang menjalani cabikan-cabikan menakutkan karena objek tadi.

“Apa Luann sudah tidur?” pria tua memberi kode terhadap Hozhi.

“Ya” Hozhi segera berjalan pelan keluar dari kamar kakaknya.

Hozhi tidak pernah meninggalkan Luann selama perawatan di rumah sakit. Dia berjuang untuk tidak menganggap masalahnya sebagai hal yang membuat kisahnya terlihat paling menderita. Hozhi menganggap Luann jauh lebih terluka dibanding sesuatu objek yang sedang dijalani olehnya.

“Maaf untuk semuanya” pria tua tiba-tiba saja menangis sambil memeluk Hozhi setelah mereka berdua berada di taman rumah sakit.

“Salah kakek apa? Bukannya Hozhi yang harus minta maaf” Hozhi.

“Sangat banyak” pria tua.

“Sepertinya kakek sedikit salah makan” Hozhi.

“Biarkan kakek memeluk Hozhi seperti ini sekalipun semua sudah terlambat” pria tua.

“Kakek” Hozhi.

“Maaf karena kakek tidak pernah bisa bahkan dikatakan tidak pernah mau menjadi sahabat buat Hozhi” pria tua.

“Kakek selalu saja menambah sayatan luka di ruang hati Hozhi” Pria tua.

“Bukan salah kakek” Hozhi.

“Kakek harap Hozhi bisa berbagi cerita apa pun itu” pria tua.

“Beri kakek kesempatan untuk menjadi sahabat buat Hozhi” pria tua. Hozhi menangis terharu mendengar ucapan sang kakek. Rumah itu sepertinya mulai terbentuk hangat hingga memulihkan sesuatu yang tersayat di dalam sana.

Mereka berdua untuk pertama kalinya saling berbagi cerita dan tertawa lepas. Hozhi seolah lupa tentang kisah pahit di masa lalu. Raut wajah kakek sedang belajar mengerti ruang hati cucunya sendiri. “Hia juga butuh kakek” Hia tina-tiba hadir di tengah mereka.

“Kaska juga ingin hal yang sama” Kaska segera berlari memeluk pria tua.

“Tentu saja” Hozhi.

Pria tua untuk pertama kalinya meluapkan sisi emosionalnya melalui air mata. Keluarga Geonoiv memiliki ceritanya sendiri di sekitar jalan setapak. Pelita kecil itu sedang menyinari lorong gelap agar dua kaki tidak lagi terantuk oleh sebuah batu menakutkan.

“Hia sangat bahagia melihat ka’Hozhi berlari mendorong pasien” ujar Hia beberapa hari setelah Luann mendapat perawatan di rumah sakit.

“Biasa saja” jawaban cuek Hozhi.

“Ternyata kakak Hia seorang dokter jenius” Hia tersenyum lebar.

“Jangan lupa untuk selalu berada di samping ka’Luann kalau saya lagi shift kerja di ruangan lain! Ngerti?” Hozhi mengalihkan pembicaraan.

“Biar ka’Hozhi ga bilang, Hia juga pasti tahu diri keles” cetus Hia.

“Dasar” Hozhi.

“Siang, apa kita bertiga bisa berbicara?” seseorang tidak dikenal menghampiri mereka berdua.

“Maaf, kalau boleh tahu anda siapa? Sok kenal sok deket banget” Hia.

“Kenalkan nama saya Thea seorang penulis jalanan” Thea.

“Penulis jalanan?” ucapan serentak dua adik kakak.

“Ada yang salah?” Thea.

“Ga ada sih” Hozhi.

“Kalau begitu mari saling bercerita, tapi di cafe gitu bukan disini” Thea.

“Di ruanganku saja kebetulan saya libur kerja, jadi ga bakalan diganggu masalahnya kami berdua tidak bisa meninggalkan rumah sakit” Hozhi.

Mereka bertiga pada akhirnya berada di sebuah ruang. Saling manatap satu dengan lainnya dalam ruang persegi empat dan bukan segitiga siku-siku. “Kenapa jadi tegang begini, padahal saya tudak datang untuk membunuh kalian?” Thea.

Thea merupakan salah satu penulis jalanan dengan hobi sedikit berbeda. Meluapkan banyak objek melalui tulisannya. “Saya sedikit tertarik menuangkan kisah kalian melalui cerita novel, apa kalian keberatan?” Thea.

“Kenal kami dari mana?” Hozhi.

“Kebetulan jalan-jalan gitu jenguk teman, terus ga sengaja lihat kalian berpelukan semalam antara kakek dan cucu. Gitu ceritanya sih” Thea memperagakan beberapa tingkah laku mereka semalam.

“Hanya gitu doang?” Hozhi.

“Saya menguping kiri kanan suster rumah sakit bercerita tentang keluarga kalian, jadi, intinya saya tertarik gitulah” Thea.

“Tapi, masalahnya situ penulis jalanan masa iya bisa laku?” Hia.

“Siapa tahu dengan nulis kisah kalian, lantas saya jadi penulis mendadak terkenal, terus tulisanku diperebutkan ma banyak rumah produksi film dan drama gitulah, pasti situ juga yang terkenal” Thea.

“Berharap banget” cibir Hia.

“Saya punya mimpi, kelak seluruh rumah produksi film di berbagai negara berebutan sampai berkelahi memperebutkan tulisanku habis-habisan” Thea.

“Terus mereka bilang; saya dulu, lantas yang lain lagi bilang gini; saya sudah lama antri dan lebih dulu, jangan main tikung saja!” Thea tersenyum membayangkan sesuatu...

“Lagi curhat ya?” Hozhi.

“Tidak juga. Btw, apa kalian tertarik?” Thea.

“Tidak sama sekali” tegas Hozhi.

“Tapi, sepertinya saya sedikit tertarik” Hia.

“Jangan bersikap aneh-aneh!” tegur Hozhi terhadap adiknya.

“Jangan dengarkan suara kakakmu!” Thea.

“Tanpa persetujuan yang lain, kau tidak bisa berbuat apa-apa” Hozhi.

“Ka’Hozhi harus setuju, feelingku mengatakan kalau sesuatu yang besar akan terjadi” Hia.

Hozhi dengan terpaksa menyetujui kemauan adiknya hanya karena alasan tidak masuk akal. Mereka berdua bercerita kehidupan keluarga sejak kecil hingga sekarang terhadap Thea. Perjalanan hidup tentang air mata, sayatan luka, rumah, pemgkhianatan, sahabat, dan masih banyak lagi berbaur menjadi satu.

“Kalau boleh tahu, mimpimu setelah bertobat?” Thea melemparkan sebuah pertanyaan terhadap Hia.

“Saya maksudnya?” Hia.

“Memang siapa lagi, kan dia sudah jadi dokter?” Thea.

“Dia cita-citanya sangat mulia, luhur, berbudi, pokoknya is the bestlah” Hozhi.

“Memang cita-cita dia apa sampe segitunya?” Thea.

“Pendeta” penekanan Hozhi.

“Ka’Hozhi seperti mengejek” Hia.

“Entahlah” Hozhi.

“Cerita tentang pendeta, sepertinya saya punya pengalaman sedikit lucu” Thea.

“Bisa diceritakan? Biar cita-cita mulia adikku tercapailah” Hozhi.

“Hentikan sindiran kakak” Hia.

“Penulis jalanan sepertiku dengan sengaja sedikit membuat keusilan di dunia perpendetaan akhir tahun. Singkat cerita, justru panggung hiburan dunia yang mati kepanasan” Thea.

“Maksudnya? Pendeta dan panggung hiburan? Hubungannya?” Hia.

“Saya sengaja membuat sebuah tulisan masalah kehidupan untuk merendah ketika menjadi seorang hamba Tuhan melalui sebuah novel. Di akhir cerita dunia hiburan internasional kepanasan 7 keliling” Thea.

“Hubungannya?” Hozhi.

“Masalahnya, awal bab ceritaku sedikit menyentil dunia hiburan tentang masalah penjualan jiwa terhadap satanisme dan beberapa kehidupan selebrtis. Berujung pusat hiburan disana, kepanasan hingga menghujat Tuhan pada sebuah acara penghargaan. Dua hari setelahnya, Tuhan marah besar dan berakhir kebakaran menakutkan hingga banyak rumah selebritis dunia terbakar” Thea.

“Situ penulis jalanan, ga mungkin juga keles” Hozhi.

“Iya sih penulis jalanan, tapi percaya atau tidak, sepertinya Tuhan membuat tulisanku mendunia 7 keliling tanpa orang sadari termasuk keluarga terdekatku” Thea.

“Tahu dari mana?” Hia.

“Kan banyak kode-kode berhadiah dikirim buatku dan hanya saya yang tahu artinya, ngerti?” Thea.

“Lanjut ke cerita tadi, jiwa penasaranku sedikit meronta!” Hozhi.

“Belum tentu juga ada hubungannya ma tulisanku, tapi, masalahnya sebulan setelah upload, tiba-tiba saja kebakaran, lebih parah lagi saya dalam perjalanan menuju suatu tempat dan signal ga ada” Thea.

“Kejadian ini baru saya tahu beberapa hari setelahnya. Entah kenapa hatiku berkata salah satu penyebab kebakaran tersebut, ada hubungannya ma tulisanku. Entahlah” Thea.

“Saya jadi penasaran” Hia.

“Sebenarnya, saya itu mau bermain usil-usilan ma perpendetaan dikarenakan kehidupan hamba Tuhan sekarang ini mengalami penyimpangan. Eh lain gatal, lain garuk” Thea.

“Kan situ penulis jalanan, kenapa mengorek perpendetaan?” Hia.

“Masalahnya saya butuh dunia hamba Tuhan alias perpendetaan suatu hari nanti, kalau kehidupan mereka hancur berantakan begitu, lantas bagaimana Tuhan mau dengar doa mereka” Thea.

“Segitunya juga, penulis jalanan butuh perpendetaan” Hozhi.

“Kalau hidupku Cuma jadi penulis jalanan, saya juga tidak akan sampai segitunya keles” Thea.

“Memang pekerjaan lain itu, apaan?” Hia.

“Rahasia ga boleh dicerita” Thea.

“Saya tetap ingin masuk area perpendetaan” Hia.

“Btw, apa kau sudah punya pacar?” Thea.

“Belum ada, tertarik daftar ga?” Hozhi.

“Maaf, dia bukan tipeku” Thea.

“Lantas, ngapain bertanya?” Hia.

“Saya Cuma mau bilang, hati-hati dalam pemilihan pasangan hidup. Jangan karena popularitas, kecantikan, kekayaan, karir, publik figur kelewat tinggi, lantas melupakan banyak hal” Thea.

“Memang kenapa?” Hia.

“Ada banyak hamba Tuhan terjebak ketika memilih pasangan. Kenyataannya adalah pasangan mereka yang akan menentukan pondasi gereja ke depan” Thea.

“Kenapa?” Hia.

“Pasangan hidup seorang hamba Tuhan dituntut untuk memiliki iman, hikmat, pondasi doa dengan cerita kuat didalam-nya agar tidak terjadi penyimpangan hidup bagi keluarga sendiri dan seluruh anggota gereja” Thea.

“Banyak pasangan hamba Tuhan terlihat menakutkan kalau dipikir-pikir. Entah dari busana pakaian, iman, kehidupan sosialita, karakter, pengelompokan jemaat, dan lain sebagainya” Thea.

“Menakutkan” Hia.

“Hamba Tuhan sekarang dan dulu berbeda. Kalau sekarang, mereka mencari pasangan hidup dengan melihat yang sekarang dan objek bersifat luar, tanpa memikirkan kehidupan di depan akan menjadi seperti apakah itu sebuah gereja” Thea.

“Carilah pasangan yang memiliki iman berbeda dan tidak bersifat pasaran, tidak mengeluh, kehidupan sederhana dikarenakan tuntutan hamba Tuhan harus mengerti kata kerendahan hati dimanapun berada, bersikap bijak ketika situasi apa pun di depannya” Thea.

“Apa kau tertarik menjadi istri pendeta?” Hia.

“Saya tidak tertarik sama sekali” Thea.

“Kenapa?” Hia.

“Saya itu masih suka bocor kiri kanan, ga cocoklah ma perpendetaan” Thea.

“Tapi, bahasa kelewat bijak menyuruh pendeta mencari pasangan yang gimana gitu” Hozhi.

“Karena saya butuh dunia perpendetaan suatu hari nanti untuk menerobos sesuatu pekerjaan sekaligus pemulihan yang rasa-rasanya sangat mustahil untuk diterobos tetapi bisa dilakukan sih melalui kekuatan doa berantai mereka semua. Ngerti?” Thea.

“Kenapa jadi jeles begini?” Hia.

“Ga juga keles” Thea.

“Maaf, apa saya mengganggu percakapan kalian?” tiba-tiba saja Leza si’gadis lumpuh membuka pintu tanpa permisi terlebih dahulu.

“Leza” Hia.

“Kau sudah berjanji akan menjadi dua kakiku, kenapa menghilang beberapa hari belakangan?” Leza.

“Tahu dari mana saya ada disini?” Hia.

“Saya mau ikut terapi di rumah sakit, kebetulan lihat Hia berjalan ke ruangan ini” L,eza.

“Ka’Luann sakit, jadi, saya harus terus berada di sampingnya” Hia.

“Luann itu pacar Hia?” Leza.

“Kalau pacar memang kenapa?” Thea.

“Dia kakak perempuan kami” Hozhi.

“Sepertinya saya harus mengecek kondisi ka’Luann” Hozhi seolah mengusir mereka dari ruangannya.

“Tapi, saya masih sedikit tertarik tinggal disini buat bahan tulisan” Thea.

“Bahan tulisan?” Hozhi.

“Dia orangnya” Thea menunjuk Leza.

“Kalau begitu kita tinggal setengah jam lagi disini” Hizhi memberi izin ruangannya masih digunakan buat bercerita...

Terjadi tatap-menatap antara si’penulis jalanan dan si’gadis lumpuh. “Kenapa menatapku seperti itu?” Leza.

“Buat bahan tulisan saja” Thea.

“Tatapannya macam ingin membunuh orang saja” Hia.

“Kau ada rasa ya ma pria ini?” sindir Thea.

“Pernyataan apaan ini?” Hia.

“Dia kakak dari si’pembuat kakimu mengalami kelumpuhan total” Hozhi ikut menatap tajam Leza.

“Siapa bilang saya suka dia?” Leza.

“Penulis jalanan, hentikan bersikap usil dengannya!” Hia.

“Akan kutambahkan dalam tulisanku tentang dirimu” bisik Thea ke telinga Hia.

“Ka’Hozhi, tolong antar dia ke ruang terapi rumah sakit!” Hia meminta bantuan terhadap Hozhi.

Pada akhir cerita, salah seorang suster datang menjemput Leza untuk menjalani terapi. Mereka bertiga tinggal tetap dalam ruangan tadi, sementara Leza harus keluar untul menghindari banyak pertanyaan. “Penulis jalanan yang satu ini memang bedah” Hozhi.

“Saya masih sedikit tertarik ma cerita kalian, jadi biarkan diriku tetap duduk sedikit lagi disini” Thea.

“Terserah” Hia.

“Gadis itu depresi karena kedua kakinya lumpuh” Hozhi.

“Saya curiga, salah satu dokter di kamar operasi Leza...” Hia mengingat sesuatu.

“Kondisi Leza memang fatal, kami sudah berusaha sebaik mungkin, hanya saja seperti yang kau lihat. Beruntung saja dia selamat” Hozhi.

“Ternyata dokter jenius yang dimaksud dokter satu lagi kakakku?” Hia.

“Memang apa yang diucapkan dokter Ra?” Hozhi.

“Kau harus berterima kasih ma dokter bermasker disana, karena dia yang berperan penting di kamar bedah tadi, begitu ucapannya” Hia.

“Ternyata dia mengakui kejeniusanku, padahal terlihat gagal” Hozhi.

“Siapa bilang gagal? Kalaupun Leza lumpuh setidaknya kakakku sudah berjuang habis-habisan karena memikirkan adiknya jugakan” Hia.

“Jangan-jangan artis paling hancur, bermasalah, suka buat onar, gila, reputasi jelek yang dimaksud suster kemarin situ” Thea menunjuk Hozhi.

“Memang mereka bilamg apa?” Hozhi.

“Awalnya bercerita hal paling terburuk tentang artis ini, tapi di belakang cerita kagum 7 keliling” Thea.

“Makanya saya tertarik menjadikan situ bahan tulisan” Thea.

“Entahlah” Hozhi.

“Saya kagum karena kau tidak mengambil jalan pintas alias bunuh diri” Thea.

“Kau benar-benar kuat” Thea.

“Siapa bilang? Lagian saya memang artis tukang onar, jadi wajar saja dibuli. Sebenarnya sih, Saya hampir tenggelam dengan kata tadi” Hozhi.

“Ka’Hozhi” Hia.

“Tapi, ga jadi” Hozhi.

“Yang saya sesalkan adalah salah satu selebritis di luar sana bunuh diri karena tekanan bertubi-tubi” Thea.

“Kenapa situ yang sesal?” Hozhi.

“Masalahnya saya ada ikuti akun miliknya, jadi pertanyaan kenapa bunuh diri?” Thea.

“Pertanyaan aneh” Hozhi.

“Seperti yang saya katakan kalau sepertinya Tuhan buat tulisanku mendunia tanpa sadar, bahkan beberapa artis terlebih rumah produksi mulai mencari perhatianku sekalipun saya penulis jalanan sih” Thea.

“Lantas?” Hia.

“Emtah saya yang terlalu kege’eeeran atau gimana, hanya saja paling tidak masa iya dia ga sadar atau membaca tulisanku” Thea.

“Hubungan tulisan dan dia dimana?” Hozhi.

“90% cerita tulisanku itu tentang kehidupan seseorang dengan tekanan paling menakutkan, depresi, apa pun yang dilakukan serba salah, terkucilkan, fatherless, dan masih banyak lagi yang menjurus terhadap hidup di sebuah ruang penderitaan paling mematikan, hanya saja variasi ceritanya berbeda-beda” Thea.

“Si’pemeran utama harus selalu berjuang untuk menjadi pemenang apa pun yang terjadi dan tidak terlihat lemah” Thea.

“Lantas?” Hozhi.

“Setidaknya, dia membaca tulisan-tulisanku tadi, minimal memberi kekuatan biar tetap bertahan, tapi kenapa bunuh diri?” Thea.

“Siapa tahu dia tidak mengenal penulis jalanan, saya saja baru kenal” Hozhi.

“Entahlah, tapi memang saya tidak pernah mengirim pesan atau menulis di kolom komentarnya buat baca tulisanku sih. Saya pikir dia mengenalku, lantas penasaran, sepertinya memang dia tidak mengenalku” Thea.

“Sesuatu yang sulit dimengerti” Hia.

“Lupakan! Sepertinya saya harus pulang sudah sore” Thea segera berjalan pergi meninggalkan mereka berdua.

Mereka berdua saling menatap setelah kepergian Thea. Bertemu dengan penulis jalanan merupakan pengalaman cukup mengesankan sekaligus seru. Beberapa hari belakangan Thea terus saja berkunjung bahkan mencoba mengorek beberapa pengalaman hidup keluarga Genoiv.

“Karena dirimu, sepertinya tulisanku kali ini kelewat perpendetaan” Thea.

“Memangnya hidup penulis jalanan ga perpendetaan gitu?” Hia.

“Ya tidaklah, saya kalau ketemu orang paling cerita film, drakor, gosip, pekerjaan, mengamuk kalau tidak suka orang” Thea.

“Sadis” Hia.

“Hia sudah makan?” Thea.

“Belum, mau traktir?” Hia.

“Maksudku kalau belum makan mari kita sama-sama makan, tapi situ yang traktir” Thea.

“Hia sepertinya sudah dekat ma seseorang ya” Luann entah dari mana berdiri di tengah mereka berdua.

 

Bab 16...

 

HIASBER

 

Percakapan antara saya dan penulis jalaanan membuat kami terlihat akrab satu dengan lainnya.

“Menurut ka’Luann, antara saya dan penulis jalanan cocok atau tidak? Ujarku sedikit bergurau.

“Sangat tidak cocok sama sekali” tadi ka’Luann, sekarang Leza berteriak ke arah kami.

Sepertinya dia habis menjalani terapi. Beberapa hari belakangan saya memang meminta izin untuk tidak berperan sebagai pengganti kaki Leza, dikarenakan kondisi kesehatan ka’Luann. Dokter sudah membolehkan ka’Luann pulang ke rumah hari ini. Dia lebih memilih mempertahankan janinnya dibanding kesehatam sendiri.

“Kau si’gadis...?” perhatian ka’Luann berpindah.

“Ka’Luann” teriak Kaska dari belakang.

Pertemuan sedang terjadi antara korban kecelakaan dan keluarga si’penabrak. “Kaska, kenapa kau tidak pernah datang meminta maaf di depannya?” Luann menoleh ke arah adiknya Kaska.

“Kami sudah bertemu, dia sudah meminta maaf” Leza.

“Kau terlihat biasa saja?” penulis jalanan terkejut.

“Selama kakaknya mau berperan sebagai pengganti 2 kakiku, saya akan tetap terlihat biasa-biasa saja” Leza.

“Kemarin tidak mengakui, lantas sekarang penekanannya cukup dramatis juga” penulis jalanan.

“Maksud ucapanmu?” pertanyaan untuk si’penulis jalanan.

“Tanyakan langsung ma dia maksud ucapanku” penulis jalanan.

“Maaf, kalau boleh tahu, kakak siapa?” Kaska.

“Pasangan kakakmu” ka’Luann.

“Sepertinya kursi rodaku rusak, apa kau bisa menggendongku?” Leza.

Kenapa suasana antara saya dan gadis lumpuh di depanku sedikit tegang. “Apa kau tidak dengar? Dia meminta kau menggendong dirinya” Thea.

“Sepertinya bahan tulisanku makin seru melihat kisah kalian berdua” bisik Thea.

“Maksud ucapanmu?”

“Calon pendeta dan si’gadis lumpuh” Thea.

“Kursi rodaku rusak” bahasa judes tiba-tiba dari Leza.

Kenapa saya merasakan hawa monster disini? Menyuruh Kaska membawa ka’Luann pulang ke rumah, sedang saya harus menemani Leza terapi di rumah sakit. Penulis jalanan sendiri sudah pergi entah kemana.

Kenapa saya jadi penasaran tentang cerita artis bunuh diri di luar sana? Kemungkinan beaar, artis tersebut dijebak oleh oknum tertentu hingga mabuk dan dibiarkan menyetir begitu saja. Hanya saja tidak ada bukti...

Logikanya, artis itu tidak mungkin merusak citranya sendiri terlebib aturan ketat di negaranya tentang rambu lalu lintas. Hal lebih buruk lagi adalah pihak agenci seolah cuci tangan bahkan mengancam dirinya. Terkesan sangat janggal kalau dipikir-pikir lagi...

Saya tidak bergelut di dunia keartisan, hanya saja teman-teman artisku kemarin cukup lumayan. Namanya juga peran mafia, tentu pertemanan ma dunia keartisan lumayanlah. Yang ingin saya katakan kalau kebanyakan agenci hanya ingin mengambil keuntungan besar dari sang artis tanpa memperdulikan apa pun di depan.

Hal terburuk lagi adalah kebanyakan artis dijebak agar tidur dengan tokoh manapun demi sebuah keuntungan. Bahkan pihak agenci tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap sang artis andaikan dikarenakan tidak mendapat peran utama, memberi kerugian cukup besar, dan lain sebagainya.

Hal seperti ini selalu terjadi di banyak negara, terlebih tekanan persaingan antara sesama agenci. Artis itu bukan binatang yang seenak jidat dimanfaatkan atau diperintahkan oleh kalian untuk melakukan apa pun ambisi agenci. Ketika sang artis menghadapi masalah, jadilah sahabat yang selalu ada bukannya menyudutkan dirinya tanpa hati nurani.

Buat netisen, dengarkan baik-baik! Artis itu manusia biasa, bukan sosok malaikat sempurna yang harus sesuai keinginan kalian. Jangan selalu menjadi hakim terhadap kehidupan artis di luar sana.

“Untung saja ka’Hozhi imannya masih kuat kalau dipikir-pikir lagi” membayangkan wajah kakakku seketika.

“Ka’Hozhi memang bermental baja”

Kenapa saya jadi bercerita tentang artis? Lupakan! Sepertinya saya harus segera ke rumah Leza hari ini. “Apa kau menyukai dia?” Leza tiba-tiba saja melemparkan pertanyaan setelah saya berada di rumahnya.

“Siapa?”

“Dia” Leza.

“Penulis jalanan, Thea?”...

“Saya tidak tahu namanya” Leza.

“Sedikit” ujarku.

“Saya bisa membuktikan kalau imanku berbeda dari kebanyakan orang banyak di luar sana” Leza.

“Maksud ucapanmu?”

“Saya akan belajar hidup sederhana, tidak mengeluh, pantang menyerah, bahkan akan selalu bersikap bijak apa pun keadaannya” Leza.

Kenapa jadi pernyataan aneh yang keluar dari mulutnya? “Dia tidak mencari pasangan dengan profesi perpendetaan, sedang saya sepertinya cocok dengan perpendetaan” Leza.

Apa ini pernyataan cinta? Dia makan apa semalam? Saya yang gila atau memang dia yang tidak waras sama sekali? Apa dia sadar ucapannya? Sepertinya saya mengalami serangan jantung mendadak. “Saya butuh air” segera berlari ke dapur mencari segelas air minum.

“Saya akan buktikan kalau imanku juga bisa diperhitungkan” Leza menyusul ke dapur.

“Tidak berarti saya cacat, lantas ga bisa mengejar pria yang kusukai” Leza makin membuatku serangan jantung mendadak.

Responku? Hanya diam seribu bahasa tanpa berkata-kata. Ibunya bisa-bisa memakan hidup-hidup sosok Hia kalau ucapan anaknya seperti ini. Bukan karena dia cacat, hanya saja kehidupan Hiasber dengan masa lalu gelapnya seperti menjadi benteng kokoh sebagai jurang pemisah. Apa saya menyukai dirinya? ...

“Apa yang kau lakukan?” melemparkan pertanyaan beberapa hari setelah kejadian tersebut.

“Ingin melamar pekerjaan sebagai pengacara” Leza.

“What?” ujarku terlihat histeris.

“Saya akan buktikan kalau imanku berbeda dari kebanyakan orang banyak, ngerti?” Leza.

Apa yang dia lakukan? Dia mengirim lamaran pekerjaan ke seluruh firma hukum di kota ini, baik secara online maupun langsung mengirim berkas fisik. Saya seperti orang bodoh mengekor di belakangnya. Dia mendapat penolakan dan pembulian mentah-mentah dari banyaknya firma hukum. Apa dia menyerah?

“Saya akan buktikan kalau persungutan itu ga ada sama sekali dalam kamus Leza” ucapannya sedikit membuatku merinding.

Saya seperti orang bodoh tidak bisa berkata-kata. “Imanku akan membuatmu tercengang” Leza.

Kenapa dia jadi histeris begini? Beberapa bulan lamanya mengirim lamaran, tetapi tidak satupun mendapat respon. Apa dia menyerah? “Imanku pasti bisa membuat saya menjadi seorang pengacara apa pun keadaannya” Leza.

“Hentikan kelakuanmu!” berteriak di depannya.

“Kalau hanya ingin mengejar cinta sesat, lebih baik berhenti dari sekarang!” ujarku kembali.

“Cinta sesat?” Leza.

“Setidaknya kau berjuang menjadi pengacara karena memang mimpimu, bukan masalah pembuktian pengejaran cinta sesat. Ngerti?”

“Saya berjuang karena mimpi atau cinta sesat terserah, yang penting sosok sepertiku ingin membuktikan iman berbeda” Leza menutup pintu rumahnya.

Apa saya sudah tidak waras? Mengembalikan kehidupan gadis depresi, tetapi justru hidupku seperti terjebak di dalamnya? Sesuatu hal terjadi di luar dugaan. Salah satu firma terbesar menerima berkas lamarannya.

Meninggalkan pekerjaanku sebagai penjual bubur ayam pinggir jalan untuk mengantar dia kesana. Saya harus bisa membagi waktu antara bekerja, menjaga dirinya, berada di samping ka’Luann, dan kuliah. Mengambil kuliah malam jurusan theologia sedang kujalani beberapa waktu lalu. Kaska sibuk kuliah di siang hari, sedang ka’Hozhi bekerja di RS hingga saya sendiri harus bisa bekerja sama dengan mereka untuk tidak pernah meninggalkan ka’Luann seorang diri.

“Gadis lumpuh sepertiku pasti bisa menjadi pengacara sama seperti yang lain” Leza.

“Apa kau dinyatakan lulus?”

“Saya akhirnya lulus karena imanku berbeda dari orang banyak di luar sana” penekanan Leza.

“Saya sepertinya sudah tidak waras” ujarku seketika.

“Jangan pernah melirik wanita lain, karena sepertinya pembuktian imanku mulai terlihat. Ngerti?” Leza.

Dia benar-benar ingin membuktikan satu objek terbaik dalam dirinya. Leza tidak pernah perduli ucapan orang banyak tentang tubuh cacatnya. Saya hampir-hampir tidak percaya, kalau dia sukses besar menangani sebuah kasus.

Apa dia menang dengan begitu mudah? Jawabannya tidak sama sekali. Leza terus berjuang mempelajari kasus tersebut, bahkan membolak-balikan ratusan kertas di atas meja. Kenapa saya bisa tahu? Saya selalu berjalan ke rumahnya dengan peran sebagai pengganti dua kaki ketika dia membutuhkan sesuatu.

Dia memang pengacara jenius, hanya saja karena kecelakaan itu hingga membuat mimpinya berhenti untuk sementara. Apa iya, antara perpendetaan dan pengacara bisa bersatu? Sepertinya saya semakin tidak waras karena ulahnya.

“Jenis pakaianku sederhana, ga sosialita” Leza.

“Ternyata kau masih sakit” berusaha menjauh darinya.

“Hia belum pulang, padahal Hozhi baru saja menelepon?” Ibu Kasih hadir di antara kami berdua.

“Ibu, apa dirimu menyadari sesuatu hal?” Leza.

“Tentang?” ibu Kasih sedikit bingung.

“Calon menantumu ternyata seorang pendeta kelas kakap” Leza.

Dia makin tidak waras. “Jangan salah paham ma ucapan ngelantur dia!” ujarku.

“Pria ini calon menantu ibu di masa depan, karena anakmu sedang berjuang mendapatkan dirinya” Leza menunjuk ke arahku.

“Kau benar-benar tidak waras” kalimatku segera berlari pergi dari rumahnya.

Entah apa yang dia sudah makan? Terlihat sejenis kucing garong bahasa paling tepat buatnya. Hidup denfan kondisi depresi karena 2 kakinya lumpuh, tetapi sekarang berubah total?

“Ka’Luann mau kemana?” menyadari sesuatu hal di tengah jalan. Menguntit diam-diam sedang kulakukan saat ini.

Saya mimpi apa terus akhir-akhir ini? Leza dengan tingkah konyolnya menyatakan objek menakutkan membuatku makin tidak waras. Di tempat lain, ka’Luann diam-diam tidak ingin mengonsumsi obat pemberian dokter. Dengan mata kepalaku sendiri, saya melihat ka’Luann membuang obat-obat itu ke tempat sampah. Bagaimana jika kesehatannya semakin memburuk?

“Ka’Luann mau bertemu siapa di penjara?” bergumam pelan.

“Apa kau masih mengenalku?” ucapan ka’Luann terhadap seorang pria paruh bayah di depannya.

“Hal terbodoh seumur hidupku yang sedang kulakukan adalah bertemu denganmu” ka’Luann.

Pria paruh bayah itu ternyata papa. Badannya tidak terurus bahkan terlihat kurus. Kenapa ka’Luann berjalan ke arahnya? “Saya ingin belajar untuk memberi maaf terhadapmu sekalipun sayatan luka itu masih membekas di dalam sana” ka’Luann. Papa dengan kepala tertunduk seolah tidak berani menatap wajah putrinya.

“Luann” papa.

“Ternyata kau masih mengenalku” ka’Luann.

“Apa ketiga adikmu baik-baik saja?” papa.

“Mereka semua baik” ka’Luann.

Pertemuan antara ayah dan anak menyatakan sebuah lukisan yang memang sulit untuk dijelaskan. Menjadi pertanyaan, apa saya bisa berdiri di hadapan papa sama seperti yang dilakukan oleh kakakku? Mengambil jurusan theologia, tetapi masih sulit memberi pintu maaf? Tertawakan saja diriku...

Tiap orang memiliki masa lalu gelap, lantas kenapa saya sulit memberi kesempatan buat papa...? Tuhan, pergumulan terbesarku adalah belajar untuk berjalan di dihadapan papa, dan berkata kalau saya ingin mencoba memberinya kesempatan. Bertahun-tahun, kami semua memutus hubungan antara ayah, menantu, dan anak.

Menjadi orang kristen itu rasanya sangat sulit. Kenapa? Di dalam hidup seseorang harus berjuang untuk memberi pintu maaf dan hal tersebut terlalu sulit dilakukan terlebih ketika cabikan demi cabikan berjalan tanpa jedah iklan.

Entah kenapa, bayangan ibu Kasih menatap ke arahku, Kaska, ka’Hozhi, ka’Luann tanpa kebencian sama sekali seolah lupa apa yang sedang terjadi dengan putri semata wayangnya. Kalau ibu dan anak itu bisa melakukan sesuatu yang sulit dilakukan, lantas kenapa saya tidak bisa?

“Badanmu terlihat kurus, apa kau kurang makan?” memberanikan diri bertemu dengannya.

“Hia disini juga?” ka’Luann terkejut.

“Hia mengekor di belakang kakak” ujarku.

“Hia sudah sebesar ini?” papa.

“Sebentar lagi dia akan menjadi pendeta, mungkin saja papa salah satu jemaat pertamanya nanti” ka’Luann.

“Luann menyebut papa, rasanya sulit dipercaya” papa.

Apa saya bisa memanggilnya papa? Menang atau kalah? Pilihan tersulit buatku. Rumah itu rusak dengan banyaknya objek menakutkan hingga dua kaki selalu saja kehilangan arah. Puing-puing bangunan sedang berteriak keras tanpa henti. Apa puing-puing bangunan ini bisa kembali tertata? Sayatan luka didalam sana terus saja mengudara bahkan makin tidak terkendali...

Tuhan, sekali lagi kumohon agar tanganMU bekerja untuk menyembuhkan lukaku yang masih berteriak begitu keras. “Kuharap kau menjaga menjaga kesehatanmu” kalimatku sebelum meninggalkan penjara.

Sesuatu menahan dua kakiku untuk kembali berbalik ke arahnya. “Papa, sepertinya saya juga sedang ingin belajar kembali menyebut kata tadi berulang kali buatmu” ucapanku seketika.

Kami berdua berjalan keluar meninggalkan penjara. Menjadi pertanyaan, apa papa pernah bertemu dengan anak bungsunya di penjara? Kaska memang sering keluar masuk penjara, tetapi di banyak daerah bukan hanya aatu tempat saja.

“Kenapa?” melemparkan pertanyaan setelah kami berada di pinggir danau untuk menghirup udara.

“Saya ingin pergi tanpa penyesalan” ka’Luann.

“Apa ka’Luann sudah menyerah?” menyadari maksud ucapannya.

“Bukan menyerah, hanya saja saya harus siap andaikan waktu itu tiba” ka’Luann.

“Kenapa ka’Luann membuang semua obat pemberian dokter?”

“Apa ka’Luann tahu perasaan Hia, ka’Hozhi, Kaska, kakek, nenek seperti apa kalau terjadi sesuatu?” berteriak keras...

“Semua ibu tentu lebih memilih menyelamatkan anaknya dibanding diri sendiri, termasuk diriku” ka’Luann.

“Bayiku akan menjadi jagoan paling jenius, ganteng, baik, dan memiliki senyum seperti ayahnya” ka’Luann.

“Apa dia masih tersimpan di hati kakak?”

“Lebih dari yang kau pikir, tapi, kau tidak perlu takut” ka’Luann.

“Ka’Luann”

“Saya tidak akan merusak rumahnya apa pun yang terjadi” ka’Luann.

Cinta terlarang dengan banyaknya memori didalamnya. “Jangan beritahu dia tentang jagoan kecilku, andaikan saya pergi untuk selamanya” ka’Luann.

“Kenapa?”

“Saya tidak ingin lagi merusak rumah kecil miliknya” ka’Luann

“Darah” terkejut seketika melihat darah segar mengalir di kaki ka’Luann.

“Kenapa ka’Luann ga bilamg kalau perut kakak kontraksi?” berteriak memeluk dirinya.

Segera membawanya ke rumah sakit. “Kenapa kau membawa dia ke danau?” teriakan ka’Hozhi bergema di rumah sakit.

“Dia tidak salah, kakak memaksa Hia” ka’Luann masih mencoba berbicara.

“Tolong selamatkan bayiku!” ka’Luann memohon-mohon sambil memegang tangan ka’Hozhi.

“Keselamatan kakak lebih penting” ujarku.

“Jagoan kecilku harus melihat dunia” ka’Luann.

“Panggil dokter obgyn cepat” ka’Hozhi memberi perintah pada salah satu perawat.

“Suster, tolong bawah kakakku ke ruang bedah!” ka’Hozhi.

Apa ini terakhir kalinya saya akan melihat senyum ka’Luann? Dia menolak mengonsumsi obat demi janin dalam kandungannya. Tuhan, beri kesempatan buat kami untuk tetap berada di samping ka’Luann. Sekali saja, dengarkan doaku...

Raut wajah kakek dan nenek berusaha untuk menutup rasa takutmya. Kaska duduk bersandar pada dinding tembok rumah sakit. Peperangan sedang terjadi, apa ka’Luann akan menang?

Pintu kamar operasi akhirnya dibuka. Raut wajah ka’Hozhi merupakan jawaban cukup tegas tanpa harus bercerita. Lebih memilih mempertahankan bayinya? “Hozhi sudah melakukan yang terbaik” kakek memeluk kuat cucunya.

Kakek seolah menyadari pilihan hidup dari cucu pertamanya. Tidak harus bercerita, kakek sudah tahu. “Ka’Luann, baik-baik sajakan?” Kaska masih belum mengerti...

Ka’Hozhi hanya bisa menangis sekeras-kerasnya. “Tapi, ka’Luann sudah janji ma Kaska untuk tetap bertahan” Kaska.

Pertemuan dengan papa ternyata pertanda dia akan pergi. Ka’Luann pasti tahu kalau dirinya tidak akan melihat matahari terbit esok hari hingga memberanikan diri berjalan bertemu dengannya di sel penjara.  Hai rumah, kenapa kau kembali menghilang di dalam sayatan luka itu?

Jalan setapak sedang memainkan irama kesunyian di tengah nada-nada  kehidupan. Dua kaki mencoba untuk berjalan sekalipun ruang hati di dalam sana hancur berkeping-keping. Alunan cerita memberi isyarat agar dua tangan itu tetap memegang sebuah kekuatan.

“Jangan tahan air matamu kalau memang ingin keluar” Leza tiba-tiba saja berada di rumahku. Keluarga Genoiv diam membisu di rumah seminggu setelah penguburan.

“Dua kakiku ingin membuktikan kalau sosok sepertiku bisa dijadikan pondasi ketika kau lagi menangis” Leza masih sempat mengeluarkan ucapan seperti tadi...

“Kau datang dengan siapa?”

“Ibu mertuamu” Leza.

Saya tertawa seketika tanpa sadar. “Apa kau akan menjadi adik iparku?” ka’Hozhi berdiri di belakang kami sambil menggendong si’jagoan Nevy. Saya tidak habis pikir, ka’Hozhi marah terhadap sahabatnya, tetapi memberi nama Nevy ma jagoan kecil keluarga Genoiv?

Dari pada memberi nama Nadav” bayangan kalimat ka’Hozhi mengudara.

“Kau akan menjadi kakak iparku?” Kaska terkejut setengah mati. Kehadiran Leza seolah memberi penghiburan tersendiri buat keluargaku.

“Apa saya memang sudah tidak waras?” ujarku. Ka’Hozhi tertawa seketika mendengar ucapanku.

 

Bagian 17...

 

HOZHI

 

Kehadiran Leza membuat kami sedikit lupa tentang apa yang sedang terjadi. Dia mengejar Hia si’tengil? Gadis lumpuh menyukai kakak dari si’pelaku penabrakan? Ucapan Hia membuatku tertawa keras. “Memang sejak dulu kau sudah tidak waras, baru sadar?” kalimatku terus saja tertawa.

Kepergian ka’Luann meninggalkan duka mendalam, hanya saja ucapan mereka berdua membuatku seolah lupa. Bagaimana denganku? Apa saya bisa bertahan hidup tanpa seseorang disampingku?

Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya. Hidup harus terus berjalan sekalipun luka sayatan itu masih saja bergema...

 

5 KEMUDIAN...

 

Rumahku mulai bercerita tentang nada hidup dengan alur seninya di jalan setapak. “Ka’Hozy, jangan lupa jemput Nevy di sekolah!” teriak Kaska.

Keluarga Genoiv tidak lagi berjalan seperti kuburan menakutkan di siang bolong. Puing-puing bangunan itu mulai bangkit dan tertata rapi membentuk sebuah rumah.

 Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa. Kami dengan masa lalu gelap bahkan senang berenang di tengah jurang dapat berjalan melihat pelita. Takdir untuk tetap tinggal di jurang ternyata dihancurkan oleh-NYA. Satu lagi, ternyata tulisan si’penulis jalanan dengan judul ‘Heal my Wounds’ laris di pasaran. Thea sukses dengan kisah hidup sebuah keluarga tanpa kehangatan, akan tetapi sesuatu berkata lain hingga pelita kecil itu berjalan di alur cerita.

Siapa sangka seorang Kaska dapat bekerja sama dengan dr. Ra untuk mengembangkan sebuah alat yang dapat digunakan dalam dunia medis. Seseorang dapat membeli ataukah menebus resep obat tertentu tidak hanya di daerah masing-masing, melainkan juga di luar pulau. Nakes tidak harus memberi resep dalam bentuk fisik. Resep dapat dibuat dan dikirim melalui email ataukah akun aplikasi kesehatan yang telah ditentukan. Hanya memakai trik scanner dari resep yang dikirimkan pada kotak pengambilan di beberapa titik tanpa harus ke apotek.

Pihak apotek manapun dapat bergabung didalamnya. Kotak ini dapat dipasang di perumahan, jalaan umum, halte, rumah sakit, apartemen, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat penting lainnya. Apa bila obat tidak tersedia di daerah sendiri, maka seseorang dapat membeli di apotek daerah lain. Sìstem pengirimannya tidak harus memakan waktu lebih dari sehari, bahkan hanya hitungan beberapa jam saja tergantung jarak jauh wilayah apotek tersebut.

Begitupun sebaliknya dengan darah. Jika suatu daerah kehabisan stok darah, maka seseorang dapat mengambil darah di bank darah luar wilayah/ pulau. Terkadang bank darah mengalami kesulitan untuk golongan jenis darah tertentu, sehingga alat ini dapat membantu banyak orang.

Sistem kerjanyapun sama yaitu scan melalui hanphone pribadi atau kartu kesehatan khusus. “Adikku ternyata benar-benar jenius” mengacak-ngacak rambut Kaska.

“Ka’Hozhi juga jenius buktinya dokter Ra terus saja mengemis meminta bantuan” Kaska.

“Saya hanya membantu sedikit, tetapi adikku satu ini lebih berperan penting” memeluk erat dirinya.

“Andai saja ka’Luann ga nolak lamaran dokter Ra, mungkin sudah jadi kakak iparku” Kaska.

“Mulai kumat” menatap sinis.

“Coba lihat,  ka’Hia dan ka’Leza sudah nikah, lantas kakakku yang satu ini kapan?” Kaska.

Dia selalu menyindir tanpa jedah iklan. Memangnya nikah itu gampang? Leza benar-benar berjuang keras membuktikan sesuatu hal di hadapan Hia. Di luar dugaan, mereka berdua pada akhirnya membentuk kehidupan rumah tangga.

FLASHBACK

“Andaikan saya sukses membuktikan imanku dapat membuatku berjalan kembali, apa kau akan tetap berada di sampingku?” Leza.

Seorang pengacara lumpuh sedang berjuang mengejar sosok pria terkaku. “Apa kau serius?” ujarku di tengah mereka berdua.

“Apa kau bisa tinggal di perkampungan untuk sementara waktu sampai saya lulus ujian perpendetaan?” Hia terlihat ragu.

“Selama kau tetap berperan sebagai pengganti dua kakiku, saya pasti bisa” Leza.

“Kau serius? Bagaimana dengan karir pengacaramu yang lagi naik daun?” kalimatku.

“Betul”  Hia.

“Saya bisa ambil cuti panjang, nanti kalau kau sudah lulus kita bisa balik kota, singkat cerita karir pengacaraku bisa balik lagi dong” Leza.

“Tinggal di perkampungan bukan sebulan dua bulan, tapi beberapa tahun”  Hia.

“Kau memang tidak waras” kalimatku terhadap Leza membayangkan sesuatu.

“Saya memang tidak waras, baru sadar?” Leza

“Apa ibumu tidak marah?” Hia.

“Sejak awal kau berperan sebagai pengganti 2 kaki Leza, tanpa sadar, saya selalu berdoa biar kelak Hia menjadi menantuku” ibu Kasih tiba-tiba berdiri si belakamg kami.

Posisi kami sekarang ada dimana? Di sebuah taman tidak jauh dari rumah Leza. “Sekalipun Leza ga bisa jalan bukan berarti imannya mati” Hia.

“Saya ingin tetap berada di samping Leza apa pun keadaannya, sekalipun selamanya dua kakimu ga berfungsi” Hia.

Ternyata manusia tengil menyimpan rasa, hanya ga mau mengakui saja. Menjadi istri pendeta bukanlah hal yang mudah. Mereka harus siap menanggung resiko baik dari segi karir atau bahkan hal tidak terduga direlakan begitu saja. Benar kata penulis jalanan, kalau tuntutan iman lain dari pada yang lain harus dimiliki selain beberapa objek penting lainnya. Akhir cerita adalah Hia dan si’gadis lumpuh hidup bersama dalam satu ikatan pernikahan.

FLASHBACK

Mereka berdua pada akhirnya meninggalkan kota besar dan sedang berjuang di sebuah kampung sangat kecil di luar sana 3 tahun setelah Hia dinyatakan lulus kuliah. Kenapa kuliahnya Cuma 3 tahun? Sebut saja soaok Hia sebagai manusia jenius, tetapi versi perpendetaan. Dia harus bisa menjadi pelita di perkampungan tadi dan tidak hanya sekedar berkata-kata panjang kali lebar kali tinggi melalui bibir mulut semata. Andaikan kisah seorang pendeta hanya bercerita tentang berkata-kata semata, semua orang juga bisa. Objek terpenting dalam kisah perpendetaan adalah karakter dan cara merendahkan hati...

Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan. Belajar menjadi seorang hamba, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membutuhkan proses panjang untuk mengerti defenisi hati hamba di hadapan Tuhan.

“Kenapa saya jadi pendeta-deta begini?”

Perasaanku berkata, jalur hidupku tidak berada disini. Jangan marah teman, sekedar numpang lewat saja kalau curhat begini. Lagian kisahku itu sukanya cerita yang berbau drakor, dracin, drajep, dan gosip...

“Mommy” teriak jagoan kecilku Nevy.

“Anak mommy sudah pulang sekolah rupanya” memeluk erat tubuh mungil sang jagoan

Apa Nevy tahu identitas ayah kandungnya? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Keluarga Genoiv berusaha menutup rapat masalah kepergian ka’Luann. Biarkan pria itu tetap bersama rumah kecilnya. Sang istri berusaha mengalihkan perhatian agar meninggalkan kota ini dan mencoba memulai sebuah kehidupan di negara asing.

“Mommy, kenapa daddy hilang?” wajah polos Nevy seperti biasa...

“Nevy harus sabar, daddy pasti balik” menjawab pertanyaan Nevy. Pasti kalian pusing? Daddy Nevy yang kumaksudkam bakal balik apa pun yang terjadi adalah bekas artis yang tiba-tiba main pergi begitu saja dan hanya meninggalkan selembar surat.

Kalau dipikir-pikir lagi, ternyata saya tidak mungkin bisa lepas darinya. Sejak dulu seolah Tuhan tetap membiarkan saya harus terikat dengannya apa pun yang terjadi dan dimanapun. “Jagoan kecil mommy harus bisa hafal baik-baik wajah daddy, ngerti?” menunjuk sebuah photo dalam kamar.

“Siapa tahu Nevy ketemu di jalan” kalimatku lagi menatap serius ke arah sang jagoan.

“Daddy Nevy benar-benar ganteng” jagoan kecil terkagum-kagum.

Saya selalu berdoa, agar Tuhan menjauhkan dirinya dari wanita manapun. Kesalahan terbesarku adalah tidak pernah pekah dengan perasaannya. Setelah dia pergi, rasa kehilangan paling menyakitkan mengudara seketika. Apa kabar dia di luar sana?

“Ternyata dokter Ra ditolak karena photo manusia itu terus saja menjadi hiasan kamar” sindir Kaska yang langsung masuk begitu saja di kamar.

“Masalah buat anda?”

“Ga masalah sih, Cuma sampai kapan situ menunggu-nunggu berhadiah?” Kaska.

“Sampai dunia kiamat mungkin” segera mengusir dia dari kamarku.

Btw, hidup Hozhi tidak lagi bercerita tentang keartisan. Semua sudah menjadi masa lalu. Tuhan tidak mengizinkan saya untuk tetap berada disana. Tidak ada yang salah dengan dunia keartisan, hanya saja masing-masing orang memiliki versi alur cerita hidupnya.

Tidak berarti kehidupan sudah hilang ditelan bumi ketika seseorang tidak lagi menjadi artis. Plus mines dunia keartisan ataukah bidang lain akan tetap ada, hanya saja jalani apa yang memang disukai oleh hidup. “Mommy mau ajak Nevy jalan-jalan biar bisa lepas stres” mengganti pakaian jagoan kecil segera.

“Nevy ga stres, mommy saja yang stres” jagoan kecil.

“Nih bocah bisa bersaing ma orang tua kalau bicara” bahasa sedikit judes terhadapnya.

 “Jangan pulang terlalu larut!” tegur kakek.

“Nikmati hidup kakek di rumah sambil membaca!” berkata cetus terhadap kakek.

Kakek tidak lagi berteriak memaki ke arah cucunya seperti dulu. Masa tua sang  kakek dihabiskan dengan bermain bersama cicit kesayangannya. Puing bangunan tidak lagi berteriak di dalam ratapannya. Jiwa yang hancur sedang mengalami pemulihan.

“Maaf, jagoan kecilku tidak sengaja menabrak anda” berkata-kata terhadap seseorang sekitar arena permainan. Sebuah insiden kecil dibuat oleh Nevy hingga segelas jus terhambur dan membuat pakaian sang pemilik kotor seketika.

“Mommy sudah bilang jangan lari kiri-kanan, habis sudah” menegur sang jagoan.

“Maaf” ucapan jagoan sambil menundukkan kepala.

“Tidak disangka kau sudah punya anak” suara seseorang yang tidak asing lagi.

Segera berbalik badan dan berusaha melihat wajahnya. “Pada akhirnya kau menikah” senyum pria gila terhadapku.

“Kau benar-benar bahagia sekarang” ujarnya kembali.

Saya masih diam mematung menatap ke arahnya. Dia makin ganteng setelah pergi tanpa jejak selama bertahun-tahun. Apa yang sedang kupikirkan? “Mommy, sepertinya Nevy pernah lihat wajah manusia ini, tapi dimana yah?” jagoan kecil...

“Kau menikah ma dokter itu, lantas kenapa diberi nama  seperti namaku?” dia terkejut bukan main bahkan sedikit lagi serangan jantung mendadak.

“Bukan urusanmu” nada ucapan jeles terhadapnya.

Hal tergila yang sedang kulakukan adalah memasang wajah marah. “Jagoan kecil mommy, ayo kita pulang sekarang!” segera menggendong kurcaci kecilku.

“Mommy, Nevy ingat sekarang” jagoan kecil.

“Dia daddy” teriak jagoan kecil berusaha turun dari gendonganku.

“Daddy, daddy, daddy” jagoan kecil berlari memeluk pria gila itu.

“Daddy?” dia seketika serangan jantung di tempat.

“Ternyata daddy aslinya jauh lebih ganteng” jagoan kecil.

“Sejak kapan? Bahkan mencium wajahmu saja ga pernah” dia masih terlihat shock.

“Lantas, maumu?” segera menarik jagoan kecil.

“Mommy, kenapa daddy ga mengakui anaknya sendiri?” jagoan kecil.

“Daddy butuh waktu, biarkan saja dia sendiri dulu, lebih baik kita berdua pulang” kembali menggendong jagoan kecil dan berjalan pergi meninggalkan Nevy.

Pertemuan apaan ini? Hia tertawa keras mendengar ceritaku melalui video call. Memang kesalahan apa yang sudah kubuat? Kenapa juga pertemuan kami memakai acara insiden penabrakan hingga membuat pakaiannya basah.

“Wajar kalau dia serangan jantung tiba-tiba, pakai main acara daddy butuh waktu” Hia masih terus saja tertawa keras.

“Pendeta diajar untuk tidak meledek ma saudara yang lagi kesusahan, ngerti?”

“Jangan menghakimi sesamamu manusia” Hia.

Saking kesal, saya segera mematikan video call dari Hia. “Orang lagi susah begini, masih saja ditertawakan” menggerutu.

“Mommy, kenapa daddy ga mau mengakui anak sendiri?” jagoan kecil terlihat sedih.

“Daddy butuh waktu berpikir, ngerti?” jawaban buat jagoan kecilku.

Saya memang tidak bisa melupakan dia. Entah sejak kapan, rasa suka itu muncul begitu saja. Apa memang sejak dulu saya sudah mulai suka ma dia?

“Ka’Hozhi, ada yang cari” Kaska menatap sedikit mencurigakan.

“Siapa?”

“Seseorang” penekanan Kaska.

Kenapa jantungku berdebar ga karuan begini? Siapa yang mencariku? Raut wajah Kaska terlihat mencurigakan. “Jangan-jangan” menyadari sesuatu...

“Kau” kalimat pertamaku.

“Kalau kau datang buat bertanya, lebih baik kau pulang saja!” ucapanku selanjutnya.

“Siapa bilang saya datamg bertanya?” Nevy.

“Lantas?”

“Saya mau bertemu jagoan kecilku” Nevy.

“Sangat mencurigakan” menatap tajam...

“Situ yang mulai duluan sampai saya hampir mati di tempat” Nevy.

“Ka’Hozhi kenapa pakai main drama segala? Bertahun-tahun menunggu, ehh pakai acara drama” Kaska menggeleng-geleng kepala.

“Jangan-jangan”...

“Ka’Hia nyuruh Kaska memberi penjelasan sampai sedetail-detail mungkin masalah jagoan kecil terhadap dia” Kaska menunjuk Nevy.

“Kau tahu dari mana alamat rumahnya?”

“Kaska pernah mencuri di rumahnya, jadi tahulah” Kaska.

“Kalau bukan karena permintaan ka’Hia, sampai kapanpun saya tidak sudi menginjak rumahmu” bahasa judes Kaska.

Kenapa jadi begini? “Selesaikan masalah kaliam berdua! Ga usah pakai drama segala!” Kaska membiarkan kaki berdua di ruang tamu.

“Apa perasaanmu buatku sudah hilang?” pertanyaan buatnya. Dia akan kembali setelah perasaan suka itu hilang ditelan bumi...

“Menurutmu?” Nevy.

“Mana saya tahu”...

“Menurutmu?” Nevy.

“Jangan-jangan kau sudah menikah ma perempuan lain” mengamat-amati cincin di jarinya.

Saya terlambat. Penamtian panjang berbuah asam? “Kenapa saya tidak terima saja lamaran dokter Ra” ucapan menggerutu.

“Ini cincin persahabatan kita dari masih zaman remaja dulu, masa lupa?” Nevy.

“Coba lihat” segera menarik tangannya.

Dia masih mengenakan cincin persahabatan? Saya sendiri sudah lepas sejak memutus ikatan persahabatan diantara kami karena keputusannya untuk mundur dari dunia keartisan. “Apa bisa diganti menjadi cincin pernikahan?” Nevy.

“Maksud ucapanmu?”

“Menurutmu? Pura-pura ga mgerti lagi” Nevy.

“Daddy, apa kau melamar mommy?” jagoan kecil ternyata sejak tadi berada di belakang kami.

“Kenapa cepat sekali?”

“Cepat?” Nevy.

“Baru datamg, langsung pakai acara lamaran tanpa basa-basi?”

“Keburu dokter Ra melamar kembali, jangan sampai saya hilang kesempatan” Nevy.

“Dasar”...

“Kalau perlu hari ini, kita langsung ke gereja saja buat pemberkatan nikah” Nevy segera memeluk diriku.

Setelah sekian lama, dia akhirnya kembali memelukku. Dulu, pelukan dia bercerita tentang kata sahabat di dalamnya, tetapi sekarang pelukannya memberi makna ingin selalu bersama apa pun yang terjadi. Hanya dia yang selalu tersenyum hangat ke arahku sejak dulu...

“Apa daddy tidak ingin memelukku juga?” kagoan kecil.

“Tentu saja saya ingin memeluk jagoan kecil di depanku” Nevy segera menggendong tubuh jagoan kecil.

“Untung saja jagoan kecil menabrakku kemarin” Nevy.

“Memang kenapa?”

“Adikmu ga mungkin datang menjelaskan semuanya ke rumah, andaikan kita tidak bertemu kemarin” Nevy.

“Padahal hari ini saya balik keluar negeri” Nevy.

“What? Kau memang pria gila tidak punya belas kasihan” berteriak memaki dirinya.

Ternyata selama ini Nevy berprofesi sebagai ilmuan di luar sana. Pantas saja bilang ga ingin jadi artis lagi. Kenapa profesi adikku dan dia sama? Kaska memang bergerak di bidang obat-obatan, tetapi juga sedang bekerja sama dengan dokter Ra untuk mengembangkan alat yang sudah saya jelaskan sebelumnya.

Dia kembali ke negara ini sebenarnya dikarenakan masalah pekerjaan bukan untuk bertemu denganku. Di luar dugaan, pertemuan antara saya dan dia ketika kami berada di arena permainan. Setelah mendengar penjelasan dari Kaska, akhir cerita dia datang ke rumah dan langsung ingin melamar.

“Ternyata kau seorang ilmuan”

“Kau saja yang ga pernah sadar” gerutu Nevy.

Dia sedang menciptakan sebuah alat penting bagi perkembangan pelabuhan dan kapal ke depan. Salah satu permasalahan terbesar ketika berada di sebuah pelabuhan adalah berdesak-desakan. Mulai dari akan memasuki kapal melalui beberapa pintu, antri makan, antri air panas, toilet, dan lain sebagainya. Harus diakui kalau memakai transportasi laut memang pilihan terbaik bagi kelas ekonomi menengah ke bawah.

Sebuah alat dapat dikembangkan untuk membantu permasalahan tadi baik di pelabuhan maupun ketika sudah berada di kapal. Para penumpang dan buruh dibuatkan jalur berbeda sehingga tidak saling bertabrakan sebagai akibat barang-barang yang dibawah. Penumpang tinggal memberikan tiket terhadap petugas untuk dilakukan scan barcode pada tiket di pintu bawah kapal. Sebuah kotak menyerupai lift, namun memiliki sistem kerja berbeda akan terbuka. Kotak tadi dapat langsung mengantarkan penumpang menuju kapal tanpa harus berdesak-desakkan, senggol kiri kanan, dorong-mendorong. Pintu kapal akan tersambung langsung dengan alat tadi.

Begitupun sebaliknya dengan para buruh memiliki jalur lift tersendiri untuk membawa barang-barang penumpang. Buruh kapal tidak bisa dihilangkan, kenapa? Karena merek tetap berperan penting di dalam sana, selain sebagai sumber mata pencaharian.

Hal yang paling mengerikan di dalam kapal adalah selalu saja kehilangan barang, entah karena dicuri atau tertukar. Hampir tiap waktu berita kehilangan diumumkan ketika terjadi ledakan penumpang di kapal. Maka dari itu, sebuah lemari masing-masing akan berada di bawah tempat tidur penumpang. Hanya dengan melakukan scan barcode melalui lembaran tiket yang audah dibeli, maka pintu lemari tersebut dapat dibuka.

Kegiatan paling mengesalkan juga yaitu harus menjalani antrian panjang ketika mengambil makanan. Penumpang tidak perlu lagi menjalani antrian panjang tadi hanya umtuk mengambil makanan. Tiap dek kapal akan dipasang kotak pengambilan makanan. Tinggal melakukan scan barcode pada lembaran tiket, maka secara otomatis kotak makan akan langsung terhubung dari dapur kapal untuk mengirim makanan. Adapun sistem telah diotomatiskan melalui barcode tadi pengambilan makan hanya 3x sehari sesuai lamanya perjalanan penumpang.

Di dapur terdapat kotak penghubung tadi yang akan langsung mengirim makanan ke masing-masing dek dalam jumlah banyak. Tinggal melakukan scan barcode di masing-masing dek, kotak makanan akan langsung keluar. Minimal penumpang tidak akan kehilangan barang ataukah berjalan kaki ke lantai berapa untuk antri panjang mengambil makanan.

Masalah jarang antara kapal dan pintu gerbang jauh, tidak akan menjadi masalah lagi karena solusinya ada pada mesin pengantar. Minimal, kata berdesak-desakan mulai hilang ditelan bumi karena harus berjalan kaki jauh sekali menuju kapal.

“Ternyata daddymu seorang manusia jenius” berujar terhadap jagoan kecil.

“Kalau besar namti, Nevy ingin seperti daddy” jagoan kecil.

“Kau pasti bisa seperti daddy” senyum Nevy memeluk jagoan kecil.

Di luar dugaan, Tuhan memulihkan banyak hal dalam kehidupanku. Mengirimkan pasangan buatku bahkan menjadi ayah terbaik bagi jagoan kecilku. Jiwa yang hancur dipulihkan perlahan, namun pasti...

 

TAMAT